Arswendo AtmowilotoArswendo Atmowiloto (Solo, 1948) dari kecil senang mendalang. "Dari situ saya berkenalan dengan seni," katanya. Ayahnya, pegawai balai kota, meninggal ketika Ndo di SD. Ibunya menyusul pada 1965. Ia pun yatim piatu di usia 17 tahun, ketika masih duduk di bangku SMA.
Tapi, cita-citanya yang semula ingin jadi dokter, "gagal karena masalah ekonomi." Lalu, ia lulus tes Akademi Postel di Bandung, tetapi urung berangkat, "karena tidak ada ongkos." Tokh, keinginannya jadi mahasiswa terpenuhi di IKIP Surakarta, walau cuma 3 bulan. "Saya hanya ingin memiliki jaket universitas," begitu alasannya. Arswendo memang suka berkelakar. Terkesan seenaknya hampir dalam segala hal.
Ia mulai menulis, cerpen, cerbung, artikel. Mula-mula tulisannya selalu ditolak. Lalu ia pun jadi koresponden lepas Majalah TEMPO. Tahun 1972 Ndo pindah ke Jakarta, bekerja sebagai redaktur pelaksana di majalah humor Astaga. Majalah ini tak hidup lama dan ia pun masuk jadi wartawan di Kompas-Gramedia grup. Di sini, ia sempat jadi Pemred majalah remaja Hai dan tabloid Monitor.
Tahun 1990, Monitor yang melesat tirasnya dalam waktu singkat dengan jurnalismelernya, tersandung kasus Nabi. Keruan saja tabloid ini dituding menghina. Meledak demonstrasi hingga merusakkan kantor Monitor. Tuntutan massa dan suasana sos-pol kala itu sebabkan Wendo diajukan ke pengadilan, diganjar 5 tahun penjara. Ekonomi keluarganya terpuruk. Anaknya yang baru lulus SD jualan sampul buku, anaknya yang lebih tua jualan kue.
Pribadinya yang santai dan senang humor membantu Ndo jalani hidup di penjara. Tentu ia tetap menulis. Tujuh novel lahir selama ia di LP Cipinang, antara lain "Kisah Para Ratib", "Abal-Abal", "Menghitung Hari" –(yang judulnya diilhami dari Mazmur 90:12 ini dibuat sinetron dan memenangi Piala Vidya). Tak hanya itu, di penjara itu pula ia menulis puluhan artikel, tiga naskah skenario, dan beberapa cerbung yang di antaranya dikirimkan ke Kompas dan Suara Pembaruan.
Setelah 5 tahun, ia bebas. Ia temui Sudwikatmono yang terbitkan tabloid Bintang Indonesia yang sedang kembang-kempis. Di tangannya, Arswendo berhasil menghidupkan tabloid itu. Kemudian Ndo memayungi sedikitnya 4 media: tabloid anak BIANGLALA, INO, AMI (Anak Manis Indonesia), serta PRO-TV. Ia juga membuat sejumlah sinetron, di antaranya "Keluarga Cemara" yang memperoleh Panasonic Award 2000 sebagai acara anak-anak favorit. Tiga kali ia menerima Piala Vidya untuk film "Pemahat Borobudur", "Menghitung Hari", dan "Vonis Kepagian".
Kini, selain tetap aktif menulis, ia juga merangkap menjadi sutradara sinetron, "Karena iseng saja. Sutradara honornya juga bagus, ya sudah," ujar Wendo. (Ary).
No comments:
Post a Comment