Friday, December 14, 2007

Satu Setengah Abad Atlantic Monthly

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla – Dept. of Near Eastern Languages and Civilizations Harvard University


Di tengah kesibukan kuliah, biasanya saya berusaha curi waktu untuk nikmati "refreshment" dengan membaca sejumlah majalah "aneh" yang saya sukai sejak lama, seperti Atlantic Monthly, Harper's, dan The New Yorker. Tadi malam, saya menikmati kesempatan yang sangat istimewa, yaitu menghadiri peringatan 1,5 abad terbitnya majalah Atlantic Monthly di sebuah gereja milik jemaat Unitarian-Universalist di seberang kampus Harvard, yakni First Parish Church.


Bagi masyarakat Boston, terutama kalangan yang menyukai pertukaran ide-ide, Atlantic adalah sangat istimewa. Majalah ini terbit pada 1857, dan pelan-pelan menjadi semacam "ikon intelektual" bagi masyarakat di New England. Penggagas awal majalah ini adalah sejumlah "intelektual publik" Amerika terkemuka, seperti penyair Emerson, Henry W. Longfellow, dan James R. Lowell. Ketiganya dikenal dalam sejarah sastra sebagai tonggak puisi romantik.


Umumnya, majalah “budayawan" terbit di kawasan Manhattan, NY, seperti New Yorker, Harper's, atau New York Review. Atlantic Monthly adalah satu-satunya yang terbit di luar kota New York, dan salah satu yang tertua di Amerika. Layak sekali kalau majalah ini menjadi kebanggaan kota Boston.


Selama puluhan tahun, Atlantic berkantor di "down-town" Boston, 77 North Washington St, -sebuah kawasan bersejarah. Atlantic menjadi terkenal karena terbitkan sejumlah artikel yang dikenang sebagai tonggak-tonggak perdebatan gagasan dalam dunia intelektual. Di sanalah, sejumlah artikel penting terbit untuk pertama kali, seperti "Letter from Birmingham Jail" tulisan Martin Luther King, Jr., dan artikel sejarawan gaek, Bernard Lewis yang sudah pasti dibaca oleh banyak sarjana Muslim di mana-mana, "The Root of Muslim Rage".


Sejumlah penulis terkenal yang pernah menulis di Atlantic hadir malam itu, salah satunya adalah Barbara Dafoe Whitehead. Ia dikenal dengan artikelnya yang menjadi bahan pembicaraan di mana-mana pada th 1993, "Dan Quayle was Right". Dan dilanjutkan dengan sebuah buku yang juga sangat terkenal, "Why There No Good Men Left" yang membahas soal sulitnya perempuan Amerika paska generasi "baby boom" untuk mencari suami yang "pas".


James Fallows, penulis "The Fivety-First State" yang terbit 6 bulan sebelum invasi Amerika ke Irak dan menjadi terkenal karena merupakan semacam ramalan tentang sejumlah dilema dan kesulitan yang akan dihadapi oleh Amerika setelah Irak berhasil diduduki. Malam itu, Fallows bercerita panjang lebar tentang proses penulisan artikel itu yang memakan waktu berbulan-bulan, melibatkan wawancara dengan ratusan politisi, intelijen, dan kalangan akademik di Washington D.C.


Robert Kaplan nulis artikel pada Februari 1994, "The Coming Anarchy" (http://dieoff. org/page67. htm). Konon, Pres. Clinton menganjurkan seluruh staf gedung putih agar menjadikan artikel tersebut sebagai bacaan wajib. Malam itu, Kaplan datang sebagai pembicara, dan menyampaikan rasa syukur yang tak habis-habisnya kepada pihak Atlantic karena menyediakan ruangan bagi para reporter seperti dirinya untuk nulis reportase yang mendalam, tanpa terjebak dalam kedangkalan reportase media massa pada umumnya. Seluruh artikel terbaik yang pernah muncul di Atlantic dikumpulkan serta diedit oleh Robert Vare, dan terbit dengan judul "The American Idea".


Dalam perjalanan pulang menuju ke stasiun kereta di Havard Sq, di tengah hujan yang turun tak henti-hentinya sejak sore, saya tak habis menyimpan rasa takjub: bagaimana mungkin sebuah majalah/jurnal terbit selama 1½ abad, menampung gagasan-gagasan besar yang membentuk sebuah bangsa. Saya berkata dalam hati: seandainya jurnal "Perhimpunan Indonesia" yang diterbitkan oleh Mohammad Hatta di Belanda pada th 20an bertahan hingga kini; seandainya jurnal Prisma yang terbit th 70an hidup terus; seandainya, seandainya.


Di negeri saya sendiri, jurnal-jurnal ide bertumbangan, berumur pendek, cepat lapuk, persis sepeti bangunan tua yang sekarang dirobohkan di mana-mana, digantikan pusat-pusat perbelanjaan yang gemerlap. Sebuah bangsa hidup dan bertahan, antara lain, karena ide, karena pertukaran gagasan, karena eksperimen mental--keyakinan yang saya kira dihayati dengan mendalam oleh Ralph Waldo Emerson, seorang romantik besar.

Menumbuhkan Budaya Menulis Pada Anak

Oleh: Puji Arya Yanti

Kegiatan menulis merupakan hal yang baik dilakukan oleh anak. Saat nulis, anak menciptakan sesuatu, yang juga berarti melontarkan pertanyaan-pertanyaan, mengalami keraguan dan kebingungan, sampai akhirnya menemukan pemecahan. Ketika proses kreatif tersebut semakin dilatih, anak akan semakin mudah untuk mengalihkan keahliannya kepada bidang lain yang juga membutuhkan solusi kreatif, seperti sekolah maupun kegiatan-kegiatan lainnya.


Manfaat nulis adalah bahwa anak dapat:

1] menyatakan perasaannya tentang apa yang dialami dalam tulisan.

2] menyatukan pikiran ketika menuangkan ide dengan kata-kata.

3] menunjukkan kasih kepada sesama, misal dengan nulis surat ucapan terimakasih atau ultah.

4] meningkatkan daya ingat dengan cara nulis informasi tentang sesuatu.


Ketika anak baru mulai nulis, anda tidak perlu ajarkan tata bahasa pada anak. Pengetahuan ini sifatnya berkembang sehingga bisa dikuasai anak sedikit demi sedikit.


Menuntut kesempurnaan tulisan anak adalah kerangka berpikir yang buruk. Hal ini tidak hanya menyingkirkan kreativitas dan keceriaan, tapi juga bisa timbulkan kelumpuhan besar bagi penulis. Gunakan kata-kata pujian dengan efektif untuk memotivasi anak dalam nulis.


Satu hal yang juga perlu dihindari adalah membaca tulisan anak tanpa seizin mereka. Jangan pernah lakukan hal itu! Tunjukkan saja kalau Anda tertarik dengan tulisan mereka dan untuk membacanya, bertanyalah terlebih dulu, dan jangan memaksa atau mencuri-curi baca. Selain itu, jangan menyensor tulisan anak. Bersyukur dan bergembiralah saja karena anak memperlihatkan tulisannya. Itu berarti mereka mempercayai Anda.


Berikut ini 4 contoh kegiatan yang bisa dikerjakan:

1. Nulis Puisi. Merupakan cara yang mudah untuk memulai usaha menumbuhkan budaya nulis pada anak. Puisi bisa menggugah rasa kebahasaan lewat permainan dengan kata-kata dan struktur kalimat.


2. Nulis Kalimat Deskripsi. Caranya, anak nuliskan kalimat-kalimat deskripsi dari gambar-gambar yang mereka miliki. Misal, gambar kuda. Ajak anak menjelaskan seekor kuda lewat tulisan. Tulisan tersebut bisa dipasang di bawah gambar kuda yang dimiliki anak.


3. Nulis Doa. Ini dapat menolong anak untuk lebih mengerti permohonan doa yang disampaikan dan mengatur cara penyampaian idenya dan sekaligus juga dapat menolong anak-anak untuk mengetahui bagaimana Allah menjawab doa-doa mereka.


4. Nulis Jurnal, Diari atau Catatan Harian adalah aktivitas nulis yang baik bagi anak. Ini bisa menciptakan hubungan intim antara anak dan kegiatan tulis-nulis.


Beberapa penulis cilik yang muncul akhir-akhir ini buktikan bahwa budaya nulis mulai diminati oleh anak. Sebut saja Izzati, yang dinobatkan sebagai novelis termuda oleh MURI. Juga Ataka A.R., yang telah buat dua novel. “Jangan pernah takut salah atau takut cerita kita jelek. Dan jangan menanti mood datang, tapi kitalah yang harus menciptakan mood itu,” ujarnya.


Sebuah stimulus yang bagus jika banyak penerbit yang mau terbitkan karya dari penulis anak-anak, yang notabene adalah calon penulis di masa datang, maka kita patut sambut gembira. Selamat mendukung anak Anda dalam proses kreatif yang sedang mereka ciptakan.

Penawaran Hak Menerbitkan AEIOU

Dengan ini pengurus AEIOU membuka kesempatan bagi siapa saja yang mau meneruskan terbitnya buletin AEIOU (versi cetak) setelah edisi yang terakhir, 13, diterbitkan. Syaratnya adalah sudah percaya Kristus dengan sungguh sepenuh hati, bukan dengan hati-hati, patah hati, tigaperempat hati, setengah hati, seperempat hati, atau apalagi kurang hati beberapa gram dari itu. Lalu sangat mencintai dunia tulis menulis dan memunyai keyakinan bahwa pelayanan ini sungguh berguna untuk kemajuan Kerajaan Allah.


Kemudian memunyai kemampuan menerbitkan buletin AEIOU ini secara mandiri, mantap, berani rugi, tidak cengeng, nangisan, marah-marah, ngomel atau banyak alasan. Terakhir, mau menyerahkan dengan legawa tanpa rasa Post Power Syndrome, Hak Penerbitan AEIOU ini kelak jika sudah merasa tidak mampu lagi, atau ada pihak lain yang dirasa lebih mampu. Pendaftaran dimulai sekarang ini sampai medio Januari, siapa cepat mungkin dapat, siapa lambat jangan mengumpat! Anda bisa mengirimkan keinginan itu kepada editor via apa saja. Editor berhak memilih yang satu dan menolak yang lain tanpa dibebani oleh protes, omelan, ganggugugat, gerutuan, atau tuntutan hukum. Saat edisi terakhir, akan diumumkan pemegang saham terbaru, atau usaha pelayanan buletin AEIOU ini ditutup. Oke, silakan bergumul!

Saat Tugas Hampir Usai

AEIOU-cetak edisi depan adalah yang terakhir. Saat itu, saat no. 13 terbit, adalah usai juga tugas kami menerbitkan buletin ini dalam misi mengantar para penulis Elyon menuju pintu gerbang kemerdekaan kepenulisan nirbatas. Bahwasanya penghargaan diberikan untuk memacu dan menginspirasi kita untuk melihat wawasan dan luasan cakrawala yang terbentang bagi dunia kepenulisan warga Elyon tanpa dihalangi dan dibebani oleh ambisi diri tapi oleh cita-cita pribadi yang penuh kasih yang dilandasi oleh semangat injili dan perjuangan kepada kebenaran, kebebasan, keadilan, dan kedamaian bagi seluruh bumi. Hip hip huraahh…! (boleh hureeehh…! atau horaaahh…!, tergantung kebiasaan dan tradisi). Oh ya, AEIOU edisi weblog akan terus berjalan

Thursday, November 15, 2007

Harry Potter Menambang Emas

Accio Money! Itulah mantra yang digunakan Harry Potter untuk menyihir dunia bisnis para muggle, manusia yang bukan penyihir, di seluruh dunia. Dalam waktu sekejap, miliaran dollar AS mengalir, memenuhio kantong berbagai pihak, mulai dari sang pengarang, Joanne Kathleen Rowling, para penerbit, toko buku biasa maupun jaringan online, hingga studio film dan perusahaan yang membuat produk-produk ikutannya. Harry Potter adalah mesin uang bagi industri kebudayaan populer.


Hanya dalam hitungan jam setelah buku jilid ketujuh dan terakhir diluncurkan, 21 Juli 2007, oleh penerbit Bloomsburry di Inggris, Harry Potter and The Deathly Hallows (HPDH) terjual 2.652.656 kopi. Jumlah ini bahkan lebih besar dibanding seri-seri sebelumnya. Di AS, HPDH telah sampai ke tangan 8,3 juta pembacanya selama 24 jam pertama penerbitannya. Penerbit AS, Sholastic, awal Agustus mengumumkan bahwa seri ketujuh itu telah terjual 8,3 juta kopi, dan menjadikannya sebagai buku yang paling cepat terjual dalam sejarah buku anak di seluruh dunia.


Respons para pembaca atas buku tentang penyihir cilik yang yatim piatu ini memang luar biasa. Di Inggris, para pembaca rela antre di depan tokoh sejak malam sebelumnya untuk memastikan buku tersebut sampai ke tangan mereka. Saat antre, mereka menggunakan berbagai busana maupun atribut yang biasa dipakai para tokoh di buku Rowling: Jubah dan topi sihir, kacamata bulat Harry, maupun tanda luka di kening mereka.


Saat Rowling menulis cerita Harry Potter pertamakali di atas kereta dalam perjalanannya dari Manchester ke London, tak terbersit sedikitpun di benaknya bahwa goresan tangannya itu akan mendulang ketenaran yang menakjubkan. Bahkan naskah pertamanya itu dikembalikan oleh agennya. Agen berikutnya melihat bahwa cerita tentang seorang penyihir anak akan disukai jutaan orang di dunia dari segala usia. Surat tanda persetujuan dari agen kedua itu, Christopher Little, menurut Rowling adalah salah satu surat terbaik yang pernah sampai kepadanya.


Meskipun demikian, masih butuh waktu setahun lagi untuk bisa diterima oleh penerbit Bloomsburry. Saat diterbitkan, “Saat itu adalah momen kedua terbaik yang terjadi dalam hidupku – momen pertama adalah saat kelahiran Jessica, anak pertamaku,” urai Rowling. Tak terduga, seri pertama bukunya, Harry Potter and the Philosopher’s Stone, sangat digemari anak-anak. Buku itu terjual ratusan ribu dalam beberapa bulan saja, dan beredar di hampir 30 negara. Setelah itu tampaknya tongkat sihir Harry Potter bekerja tak terbendung menghasilkan pundi demi pundi ke kantong Rowling maupun penerbitnya.


Seri-seri selanjutnya tak diragukan lagi, menyedot perhatian pembaca di seluruh dunia. Buku Rowling ini telah diterjemahkan ke dalam 61 bahasa di lebih dari 90 negara. Bila dihitung sampai seri ketujuh, karya Rowling ini telah dicetak sebanyak 350 juta kopi. Ini juga menjadikan Rowling (42) ini sebagai perempuan penulis terkaya di Inggris dngan perkiraan penapatan 450 juta dollar AS, lebih tinggi 50 juta dibanding Ratu Elizabeth II.


Harry Potter juga menjadikan pemain-pemain filmnya terdongkrak honornya. Daniel Radcliffe misalnya, dari kontrak dengan Warner Bros, mengantungi tidak kurang dari 50 juta dollar AS dan menjadikannya remaja terkaya di Inggris. Semua angka tersebut menunjukkan bahwa Harry Potter is about making money, karakter pencetak uang. Kalau sudah demikian, logika industri kebudayaan globallah yang mengatur seluruh mesin uang Harry Potter. Tongkat sihirnya tidak lagi diperlukan. [BI Purwantari, KOMPAS, Senin 13 Agt 2007]

Wednesday, November 14, 2007

100 Tahun Herge

Seratus foto Herge superbesar dipajang di City Hall Brussel sepanjang Mei tahun ini. Herge memang telah lama meninggal, tapi ulang tahunnya yang ke-100, 22 Mei lalu, dirayakan amat meriah oleh warga Brussel. Orang ingin mengenang seolah-olah ia masih bersama mereka. Ya begitu banyak hadiah dipersembahkan kepada pencipta Tintin ini.


Bukan hanya masyarakat Brussel yang mengenangnya. Lihatlah, siang itu serombongan turis Jepang bergerombol di Museum Komik Brussel. Kinchi Nami, gadis 23 tahun, jepret sana jepret sini. Setiap detil patung Tintin, Profesor Calculus, dan Kapten Haddock yang berbaju astronot oranye dipotretnya. “Saya baca di koran Jepang kalau ada sejumlah perayaan menjelang 100 tahun Herge. Maka, saya bulan Mei ini berkunjung ke Brussel,” katanya riang.


Saat itu, tepat di hari kelahiran Herge, arsitek Christian de Potrzamparc meresmikan dimulainya proyek museum Herge di Louvain La Neuve. Di kota Tournai, juga akan diresmikan agora di tengah kota yang diberi nama Placé Hergem. Pemerintah Begia sendiri mengeluarkan koin Tintin edisi terbatas dan 25 jenis perangko bergambar sampul 25 komik Tintin dalam 24 bahasa.


Dari semuanya, hadiah ulang tahun terindah mungkin adalah sebuah kontrak film, yang sejak dulu diimpikan Georges Remi – nama asli Herge. Di hari perayaan itu, Steven Spielberg memastikan diri untuk membuat film tentang Tintin.


Herge menginggal akibat leukemia pada 1983. Ketika mati ia telah menyelesaikan 23 petualangan Tintin. Dan si Jambul ciptaannya ini telah menjelajahi hampir separuh bumi: dari ujung savana Amerika sampai daerah bersalju di Tibet. Tintin adalah sosok wartawan yang pernah membuat “kagum” Jenderal de Gaulle, yang mengatakan bahwa, satu-satunya rival internasionalnya hanyalah Tintin.


Tintin boleh dibilang kosmopolitan. Meski selalu berkesan serius, ia mudah bergaul. Teman-temannya tersebar di berbagai belahan dunia. Ada Jenderal Alcazar dari Amerika Selatan, seorang Indian Arumbaya dari Amerika Latin, para syeikh terpandang di Arab. Ia bahkan berpesiar sampai ke bulan. Dalam Penerbangan 714 ia mampir ke Indonesia untuk transit menuju Australia.


Tintin di Rusia, 10 Januari 1929 adalah awal petualangan Tintin. Edisi itu laris tak terduga. Sejak itulah petualangan Tintin merambah ke Kongo, Amerika, Mesir, Arab, dst. [TEMPO, Juni 2007].

Thursday, November 8, 2007

400

Kalau anda menduga ini ada hubungannya dengan judul cerita film 300, maka anda salah besar. Apalagi kalau anda menduga ini adalah judul lanjutan dari film 300, maka anda sudah salah besar, malu-maluin dech.

Apaan 400? Begini lho, aku mendengar seorang novelis bercerita bahwa dia menulis novel dengan 100.000 kata. Maka kalau dia mendisiplin dirinya dengan menulis hanya 400 kata setiap hari (seminggu dalam 5 hari menjadi 2.000 kata) maka novel 100.000 kata akan dapat selesai dalam waktu 50 minggu.

Ini kalau anda menulis hanya 400 kata, kalau anda menulis 800 kata maka proses kepenulisan novel tersebut akan semakin pendek separuhnya, dan total penulisan hanya menjadi 25 minggu alias kira-kira 6 bulan atau setengah tahun.

400 kata kalau diketik dalam program Microsoft Word dengan 2 spasi maka hasilnya kira-kira hanya 2 halaman. Kalau 800 kata ya tentu menjadi sekitar 4 halaman. Misalnya saja 400 kata, wah masa 2 halaman per hari kagak bisa sich?

Khaled Hosseini dalam novel terbarunya A Thousand Splendid Sun, kira-kira menulis 103.700 kata. Jika ditulis dalam program Microsoft Word dengan 2 spasi di atas kertas folio A4 akan menghasilkan sekitar 438 halaman.

Tapi kalau kita berangan-angan, wah apa begitu mudah ya menulis novel itu? Sehari 2 halaman. Lah wong aku menulis blog ini aja sampai disini baru berjumlah 210 kata. Maka wejangan penulis kondang lainnya mengatakan untuk membuat outline, kerangka atau frame. Supaya kagak lupa cerita besarnya itu gimana. Dan tidak membingungkan supaya alur cerita yang mau ditulis juga mengalir dengan baik serta enak dibaca oleh pembaca.

Dalam pembuatan kerangka atau outline juga ada penulis yang menentang dikarenakan seakan frame itu membatasi ide menulisnya. Tergantung juga. Kalau ada penulis yang bisa cermat mengingat di kepalanya tentang apa mau diceritakan dalam novelnya, tanpa harus membuat outline, ya monggo aza.

Wednesday, November 7, 2007

Layang-layang Terbang

Ini bukan judul puisi lah. Cuman pengen aja beri judul pakai kalimat Indo dari buku The Kite Runner. Buku lama (1-2 tahun yang lalu ?) yang pernah aku lihat di toko buku terbesar di kotaku. Yang menarik penglihatanku tentang buku itu bukan gambar cover-nya atau judulnya. Tetapi nama pengarangnya. Yang timur tengah banget menurutku. Khaled Hosseini.

Maka dengan penasaran aku mulai baca. Apa bagusnya sampai dikatakan sebagai New York Times Bestseller. Kemudian aku membaca kata pengantarnya. Yang sampai hari ini aku cukup mengingatnya. Khaled mengakui kalau naskah tersebut dia tulis untuk dirinya sendiri. Mungkin jika selesai menulisnya dia hanya akan menunjukkan pada istrinya Soraya. Setelah itu mungkin hanya akan mendarat di pinggir pojok garasinya sebagai suatu karya tulis yang hanya setempo saja dan tak akan banyak orang yang tahu atau membacanya.


Tentu sudah banyak pengamat pembaca buku yang telah menulis tentang buku ini. Aku bukan mau ikut-ikutan, tetapi waktu aku membaca kata pengantarnya, aku merasa bahwa buku itu ditulis dari pengalaman sang penulis yang sebenarnya. Ada rasa ketulusan keiklhasan dalam menceritakan pengalaman hidupnya. Melalui ingatan (memory) kehidupannya yang dialaminya selama di Afghanistan sebelum penjajahan Uni Soviet.


Khaled sebelumnya hendak menulis tentang Taliban, tetapi dia merasa bahwa banyak penulis yang telah menulis tentang Taliban yang lebih berpengalaman dan mempunyai pengetahuan yang jauh lebih banyak dari dia. Maka dia hanya memulai menulis ‘Afghanistan’ dari pengalamannya. Yang cukup mengalir. Enak untuk dinikmati.


Khaled juga memberikan suatu wawasan yang ‘baru’ kepada pembaca tentang Afghanistan yang selama ini hanya dianggap sebagai tanah air Taliban penyebab teror. Meski dia kini tinggal dan hidup di negara paman Sam, yang dijumpainya sangat berbeda antara Los Angeles dan Kabul.


Afganistan sebelum penjajahan Uni Soviet mungkin masih lebih baik daripada pendudukan Taliban saat ini, menurut Kahled. Melalui The Kite Runner, Khaled juga ingin pembaca mengerti bahwa Afghanistan yang ’sebenarnya’ adalah negara yang cinta damai dan indah. Kenangannya tentang Afghanistan bagaikan layang-layang yang terhembus mengikuti arah angin. Bagai Amir yang telah mengkhianati Hassan, sahabat baiknya semasa kecil. Yang telah meninggalkan Hassan begitu saja ketika Hassan diperkosa.


Rasa bersalah pun mengiringi Amir. Menipu diri, menjadi pengecut, tak mengingat masa lalunya adalah satu-satunya pilihan. Seperti layang-layang putus, sebagian dari dirinya terbang bersama angin. Masa lalu yang terkubur senantiasa menyeruak kembali. Hadir membawa luka-luka lama. Dan seperti layang-layang, tak kuasa menahan badai, demikian Amir harus menghadapi kenyataan yang mewujud kembali.


Buku yang indah seperti apa adanya ditulis Khaled Hosseini dengan baik, sehingga tidak heran telah dibaca oleh pembaca dalam 42 bahasa. Keindahan buku ini bukan saja terasa ketika dibaca, bahkan hingga buku ini selesai dibaca, keindahan itu rasanya masih tertinggal di hati.


The Kite Runner buku Khaled Hosseini yang pertama dan menjadi sukses besar. Dan buku pertama yang ditulis oleh orang Afghanistan dalam bahasa Inggris. Tahun 2007 Dreamworks telah memproduksi The Kite Runner menjadi sebuah film. Dari banyak pengkritik film, ada satu yang menarik.


Film yang ditonton tidaklah seperti yang diimajinasikan oleh pembaca. Memang tidaklah mudah, adaptasi dari sebuah buku ke layar perak. Pengkritik film lainnya juga mengatakan bahwa bagi penonton film disarankan untuk membaca novelnya terlebih dahulu untuk lebih mengerti film yang ditonton.


Khaled juga seorang penulis yang berani menceritakan tentang Afghanistan dari sisi lain, yang tentu akan tidak menyenangkan bagi otoritas di Afghanistan pada saat ini. dikabarkan pemutaran film yang seharusnya sekitar bulan Oktober ditunda menjadi pada bulan Desember 2007, dikarenakan kekuatiran akan adanya unjuk rasa yang dapat terjadi di Afghanistan (meski rencana distributor tidak akan memutar film tersebut di Afghanistan, tetapi dikuatirkan DVD bajakan akan bermunculan disana) dan akan membahayakan keselamatan para pemain filmnya (konon beberapa pemain film pemeran ‘Amir - Hassan waktu kecil’ berasal dari Kabul Afghanistan).

Friday, November 2, 2007

Penulis Film dan Televisi Hollywood Mogok Kerja

Jika tidak ada hasil perundingan yang menguntungkan keduabelah pihak maka tanggal 5 Nopember 2007, para penulis skenario film dan televisi Hollywood akan mogok menulis. Hal ini akan mengakibatkan suatu kemunduran industri dalam perfilman atau pertelevisian Amerika. Karena para serikat buruh yang membawahi para penulis skenario tersebut akan mogok berhenti menulis sampai perundingan membawa hasil yang positif.

Akibat dari dampak mogok tersebut akan banyaknya acara-acara perbincangan televisi (seperti “Late Show With David Letterman”, “The Daily Show With Jon Stewart” “The Colbert Report,” “Late Night With Conan O'brien” and “The Tonight Show With Jay Leno”) akan dihentikan dan akan memutar kembali rekaman pertunjukkan tersebut waktu aksi mogok berlangsung. Film televisi seperti "Heroes" "Desperate Housewives" atau "24" juga akan dihentikan tanpa tahu kapan akan diproduksi kembali. Bahkan pembuatan film layar perak seperti “Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull” atau "Transformers 2" juga terkena dampaknya, dikabarkan macet produksi.

Penulis naskah biasanya digambarkan sebagai penulis dengan tempat yang kumuh, mengetik naskahnya sambil menghisap rokok dan menghirup kopi hitam kentalnya. Kemudian mengetik kembali dengan suara mesin tik-nya yang membisingkan. Gambaran itu rasanya sudah tidak berlaku lagi.

Penulis naskah layar kaca atau bioskop mungkin tidak seterkenal penulis fiksi atau novel populer seperti Dan Brown atau Robert Ludlum, tetapi profesi pekerjaan mereka menghasilkan pendapatan yang tidak kecil, apalagi jika pertunjukkan di televisi atau film menjadi nomer satu atau box office. Tidak jarang penulis naskah adalah sarjana-sarjana S1 atau S2. Dan sekarang dengan aksi mogok ini semakin menunjukkan betapa berpengaruhnya para penulis naskah tersebut dalam industri perfilman. Meski mereka hanya bekerja di balik layar.

Mungkin bukan saja para produsen film yang kena dampak ini, tetapi seluruh pekerja dalam industri film akan kena dampaknya - jika produksi berhenti maka pekerjaan pun akan berhenti, berarti akan banyak pekerja di indutri film akan dirumahkan. Termasuk para bintang film yang mendapat jutaan penghasilannya untuk bermain di film mungkin harus ikat pinggang sementara. Demikian juga para produksi dan bintang film yang di produksi di luar Amerika, selama produksi itu memakai para penulis naskah Amerika.

Para anggota penulis naskah Amerika (Writers Guild of America) berjumlah 12.000 orang menyatakan 90% setuju akan aksi mogok kerja itu. Demikian pula dengan serikat buruh (union) para aktor yang menyatu dalam serikat buruh Screen Actors Guild berjumlah 135.000 anggota juga menyatakan positif dengan aksi mogok tersebut.

Mengapa mogok menulis? Apalagi kalau bukan alasan duit. Para penulis naskah televisi dan film menuntut untuk mendapatkan hak royalti dari hasil penjualan film/ televisi melalui DVD, internet bahkan handphone (henpon). Tentu saja para distribusi film menolak tuntutan tersebut. Maka sekarang tibalah adu kekuatan siapa yang lebih "berkuasa" Para produsen dan distributor itu atau para penulis naskah?

Aksi mogok para penulis naskah televisi dan film Hollywood bukan hal yang pertama kali, karena mereka pernah melakukan aksi yang sama pada tahun 1988 selama 5 bulan dan merugikan industri perfilman Hollywood sebanyak 500 juta dolar. Luar biasa kekuatan para penulis naskah tersebut dalam naungan serikat buruhnya. Yang mungkin tak terbayangkan oleh penulis naskah di negara-negara lain. Apalagi di tanah air tercinta?

Monday, October 29, 2007

Wordsmart

Howard Gardner, penemu teori Multiple Intelligences merumuskan wordsmart, cerdas kata sebagai “Kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif, baik lisan maupun tertulis” Menurut Tony Buzan, penemu metode Mind Mapping, orang-orang yang mau meningkatkan wordsmart akan dapat memanfaatkan potensi tersebut untuk
(1) menemukan dan menjelajahi dunia baru,
(2) menggairahkan imajinasi untuk memunculkan konsep dan ide-ide baru, (3) memaksimalkan kerja otak,
(4) memahami kerja tubuh untuk mengefektifkan komunikasi,
(5) merasakan nikmat dan lezatnya bermain-main kata dan makna,
(6) memahami sesuatu dengan lebih tajam dan mendalam,
(7) memelajari cara memengaruhi orang lain.
[dari sebuah brosur yang kutemukan di pinggir jalan, &]

Friday, October 26, 2007

Kekuatan Media Cetak

MENULIS DENGAN CINTA,
Oleh: Xavier Quentin Pranata

Napoleon Bonaparte berkata: "Senjata api dan pena adalah kekuatan-kekuatan yang paling dahsyat di dunia. Tetapi, kekuatan pena akan bertahan lebih lama." Martin Luther mengucapkan: "Selain keselamatan dari Tuhan Yesus, maka anugerah terbesar dari Tuhan yang lain adalah Mesin Cetak."


Perkataan Luther terbukti. Setelah mesin cetak berhasil dibuat, di Amerika terjadi panen jiwa yang luar biasa. Puluhan juta jiwa dibaptis. Di antara mereka yang dibaptis, 85% mengatakan bahwa mereka datang kepada Kristus karena bacaan rohani dalam bentuk traktat, buku, dan majalah. Pdt. Oswald Smith, gembala sidang People Church di Toronto, mengatakan, "Saya sudah berkeliling dunia ke 70 negara sambil mencari cara, manakah yang paling efektif untuk penginjilan se dunia. Dan sampai detik ini, yang bisa saya dapatkan adalah melalui MEDIA CETAK."


George Verwer, menyebutkan bahwa literatur Kristen yang juga sering disebut "Utusan Injil Tercetak", paling tidak memunyai 10 kekuatan:

(1) Ia dapat pergi ke mana-mana tanpa dilihat sebagai orang asing.

(2) Lewat pos, ia dapat masuk sampai ke tempat-tempat, di mana seorang penginjil tidak diizinkan masuk.

(3) Ia menyampaikan beritanya dengan rajin tanpa mengenal batas waktu, istirahat atau cuti.

(4) Ia mempersembahkan beritanya sesuai dengan kecepatan berpikir seseorang dan menurut kesenangan pembacanya.

(5) Ia memungkinkan si pembaca mendalami berita yang sama berulang-ulang.

(6) Ia adalah pengkhotbah estafet yang menyampaikan beritanya dari satu orang ke orang lain.

(7) Ia memungkinkan si pembaca mempelajari satu bagian khusus dari berita yang menarik hatinya.

(8) Dalam bentuk buku, ia dapat memberi makanan rohani kepada mereka yang lapar berjam-jam, bahkan berhari-hari seperti pengkhotbah bersambung yang tidak berkeputusan.

(9) Pada umumnya tidak mahal, tetapi juga tidak kalah baik buahnya dibandingkan dengan cara penginjilan lainnya.

(10) Dalam waktu satu jam, ia dapat dibagikan kepada lebih banyak orang daripada jumlah rata-rata pengunjung setiap Minggu pagi.


Ternyata, Verwer pun bertobat dan mengenal Yesus sebagai Juruselamat karena pelayanan literatur pula. Pimpinan badan misi yang memiliki kapal Logos 11 dan Doulos ini menulis: "Th. 1957, saya menerima Kitab Injil Yohanes melalui pos yang dikirimkan oleh seorang ibu Kristen yang baik hati dan yang percaya bahwa Allah menjawab doa dan yang juga percaya akan kuasa Injil dalam bentuk barang cetakan. Selama dua tahun saya membaca buku kecil itu dengan teratur sehingga akhirnya saya 'dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal' (1 Pet 1:23).


Billy Graham dalam bukunya "Just As I Am", menulis: "Liputan media mengenai kami, beberapa tahun pertama, tahun lima puluhan tak pelak lagi merupakan penentu yang membawa pekerjaan kami kepada masyarakat. Jika media bisa digunakan untuk mempromosikan pelayanan penginjilan, apakah media juga bisa langsung digunakan untuk penginjilan? Mula-mula kami berfokus pada radio dan film, namun begitu programnya usai, pengaruhnya sebagian besar berakhir pula. Kemudian kami mengalihkan perhatian pada halaman cetak. Buku dan majalah bisa mencapai tempat-tempat yang tidak bisa dicapai khotbah, dan bisa secara berkesinambungan memengaruhi, lama setelah si penulis sudah tidak ada."

Trimurti: Dengan Tulisan, Berjuang Untuk Kemerdekaan

[TEMPO, 10 Juni 2007]: Di usianya ke-95, Surastri Karma Trimurti hanya berbaring di atas ranjang kayu berwarna coklat. Hampir dua tahun ia menetap di kamar berukuran 2 X 3 meter persegi bercat putih di daerah Caman, Bekasi. Makan bubur dan minum dilayani seorang pembantu.


Trimurti sangat lemah. Ia tidak mampu mengangkat kepalanya dari bantal, juga sulit membuka kedua matanya. Yang lebih menyedihkan, kedua tangannya diikat di sisi tempat tidur dalam posisi merenggang ke samping. “Itu karena ibu suka menggaruk, dan bila menggaruk, kulitnya yang telah tipis bisa berdarah,” kata Heru Baskoro (65), putra keduanya.


S.K. Trimurti adalah kolumnis yang dikenal hingga 1960-an. Namun sejak 1991, di usia 79 tahun, ia tak sanggup lagi menulis. Kini kumpulan tulisannya yang pernah dimuat di berbagai media massa sepanjang 1939-1991 telah dibukukan. Dari buku ini, kita sudah bisa membayangkan stamina dan kemampuan perempuan ini.


Ia mulai menulis di usia 21 tahun. Oleh Soekarno, ia diminta membantu Sanusi Pane mendirikan sekolah dan menulis di Fikiran Ra’jat. Ketika Soekarno dipenjarakan dan Fikiran Ra’jat ditutup, ia diperingatkan polisi pemerintahan jajahan: “… Nona masih anak-anak, lebih baik nona meneruskan sekolah saja, daripada dihasut Soekarno.”


Ia kembali ke Klaten. Di sana ia menjadi pembantu tetap untuk surat kabar Berdjoeang. Hijrah ke Solo, ia mendirikan majalah Bedug, majalah perjuangan, yang untuk memperluas pembacanya kemudian diganti nama dengan Terompet. Lalu di Yogya, ia memimpin majalah Marhaeni, dan ia pernah di penjara karena menyebarkan pamflet Marhaen. Setelah bebas, ia ke Semarang dan bergabung dengan harian Sinar Selatan dan Suluh Kita. Tulisannya sering dianggap membahayakan penjajah Belanda. Dan ia bolak balik keluar-masuk penjara saat penjajahan Jepang, namun ia tidak kapok berjuang lewat tulisannya. “Saya bisa membuat tulisan dalam sepuluh menit,” kata Trimurti waktu itu. “Saya termasuk penulis cepat.”


Kini wanita perkasa itu berbaring lemah. Tapi ingatannya terlihat selalu berdenyut aktif. Ia tiba-tiba sering melantunkan lagu berbahasa Belanda atau Jawa. Kadang ia mengingau seolah-olah tengah berdialog dengan Soekarno, seolah-olah pemimpin bangsa itu di depannya.


BERITA TERKINI:

[KOMPAS, 10 Sept, 2007]: Trimurti kini dirawat di RS PGI Cikini, Jakarta. Mantan mentri perburuhan ini tenggelam dalam dunianya yang sunyi, entah di mana. Sesekali ia kembali dan menggumamkan tembang, ilir ilir lir ilir….

Hannah Arendt, Filsuf Yang Juga Reporter

Ketika Adolf Eichmann ditangkap di Argentina oleh agen rahasia Mossad, Israel dan diajukan ke pengadilan di Yerusalem pada 1961, Hannah Arendt melihat sebuah kesempatan langka. Ia pun menyediakan diri sebagai reporter majalah The New Yorker yang akan meliput persidangan itu. Ketika ditanya, mengapa ia, seorang penulis dan pengajar filsafat politik bersedia melaksanakan tugas reportase, Arendt menjawab: karena pengadilan ini memberi kesempatan baginya untuk berjumpa dalam “tubuh dan darah” salah satu penjahat Nazi yang paling dicela. Arendt ingin mengetahui, seandainya bisa, kesalahan individual Eichmann dan mengapa dia melakukan apa yang dia lakukan.


Sebelum pengadilan Eichmann, para penjahat perang Nazi telah diajukan ke muka sidang di Nuremberg (1945-49). Mereka yang datang ke pengadilan untuk melihat monster yang kejam, kecewa. Sebab para terdakwa ternyata adalah para ayah yang baik bagi anak dan istri, penyayang binatang, tidak angkuh –namun melakukan kejahatan yang tak terkatakan.


Arendt menulis, seperti tersangka sebelumnya, Eichmann pun tidak pernah berniat berbuat jahat. Menurut pengakuannya, ia sekadar melaksanakan tugas sebagai kepala urusan transportasi orang Yahudi ke kamp maut. Menurut Arendt, yang membuat Eichmann dapat melakukan kejahatan dalam skala yang demikian luas itu bukanlah sifat jahat, patologi, atau keyakinan ideologis tertentu, melainkan semata-mata ketidakmampuannya berpikir, tepatnya berpikir menurut sudut pandangan orang lain. Eichmann tidak punya imajinasi dan empati sehingga tak mampu membayangkan konsekuensi tindakannya bagi orang lain.


Hanya melaksanakan tugas, itulah pembelaan Eichmann. Ia bahkan membanggakan diri telah setia mengemban tugas hingga akhir, dan menyatakan diri bahwa “sepanjang hidupnya telah bertindak … sesuai dengan prinsip dan keyakinan oleh Kant.”


Kehadiran Arendt di ruang sidang tersebut menghadapkannya pada persoalan hukum yang pelik: sebenarnya siapa yang bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan rezim Nazi? Sejauh mana orang yang melakukan kejahatan atas perintah negara dan pemimpin bertanggungjawab atas kesalahan yang ia buat? Dan kejahatan yang melibatkan sistem, bagaimana keadilan ditegakkan dan kebenaran diungkap?


Setelah Hitler bunuh diri dan rezim Nazi kalah, banyak orang Jerman berseru: “Kita semua bersalah.” Orang-orang ini merasa bersalah, padahal mereka saat itu tidak ikut ambil bagian. Bagi Arendt, apa yang terdengar sebagai ungkapan kesalehan dan keluhuran hati itu justru berakibat fatal. “Ketika semua orang bersalah, tak ada yang salah. Seruan itu justru membebaskan para penjahat – orang yang nyata-nyata berbuat – dari kesalahan mereka. Untuk meluruskan rasa bersalah yang tidak pada tempatnya ini, Kebersalahan (guilt) harus dibedakan dari tanggungjawab (responsibility).” [BASIS, Maret-April 2007: KEJAHATAN ATAS NAMA NEGARA, A Sumarwan]

Monday, October 22, 2007

Manfaat Menulis Puisi

Oleh: Njoo Mee Fang


1. Melatih kita berani mengekspresikan diri melalui kata-kata tanpa harus ada partner bicara secara langsung. Kadang kala buat kita-kita yang tidak fasih lidah, berlatih mengekspresikan diri menjadi sulit kalau harus langsung berhadapan dengan orang lain. Kalau latihan bicara sendiri di depan cermin, besar resiko dianggap SeGi (setengah gila). So pasti, kita ngga mau resiko ini khan.


2. Menuntun kita memasuki dunia seni yang menjanjikan keindahan yang melebihi logika dan kata. Kalaupun belum mencapai keindahan seni puisi minimalnya kita bisa masuk dalam petualangan rimba kata dan makna. Seperti pergi ke Louvre di Paris mencari Monalisa. Kalaupun belum berhasil menemukan Monalisa, maka kita sudah terpesona melihat keindahan berbagai lukisan bahkan dari interior ruangan. Menulis puisi dapat dinikmati seperti perjalanan yang tidak tergantung sepenuhnya pada tujuan akhir.


3. Memampukan kita ”saying one thing and meaning another thing”, dapat menyampaikan makna ganda yakni yang tersurat dan tersirat. Budaya Asia masih meminta kita berbudi bahasa dengan indah. Cukup sering martabat seseorang diukur dari kemampuannya berbahasa. Meski gelar S3 kalau tutur katanya seperti preman yang kasar serta merta berkuranglah penghargaan kita. Puisi dapat menyampaikan maksud kita dengan indah.


Dalam jaman Post-modern hampir tidak ada ketentuan standard tentang bentuk dan ritme Puisi. Jadi ini adalah kesempatan bagi siapa saja boleh menuangkan pikiran perasaan melalui tulisan puisi. Silahkan mencoba. Bon Voyage.

Ketika Tulisan Tak Layak Muat Dan Kalah Lomba

Oleh: Sidik Nugroho
(http://www.geocities.com/sidiknugroho.htm)


Aku dapat tidur di suatu hari dengan nyenyak bila telah menyelesaikan jadwal menulis yang kubuat untukku di hari itu." (Stephen King)


Saya kalah dalam sebuah lomba, baru-baru ini. Ya, lomba mengarang cerpen Femina. Namun, bukan hanya soal lomba itu. Yang saya alami selama empat tahun berkecimpung di dunia kepenulisan adalah kekalahan semata-mata. Tulisan saya amat jarang dimuat media cetak. Padahal saya sudah membaca buku sastra sebanyak mungkin: dari tentang menulis, novel, kumpulan cerpen, atau resensi buku. "Sebanyak mungkin" yang tadi saya tulis adalah dalam ukuran saya: 1 buku 1 minggu. Buku-buku yang saya baca kebanyakan berjumlah halaman lebih dari 200 halaman.


Saya sudah membaca sebanyak mungkin dan menulis sebanyak mungkin, tapi selalu saja: ditolak. Bukan hanya ditolak, saya pernah juga di-sms-i dengan gelegar amukan oleh salah satu redaktur koran terkemuka karena terburu-buru menanyakan cerpen saya layak muat atau tidak.


Apa yang saya alami mungkin juga dialami oleh penulis lain. Karya kita tak kunjung dimuat dan kita tak sabar menunggu hasil. Kita kerap melihat-lihat koran di kios terdekat dengan rumah tanpa membelinya, juga tanpa memerhatikan halaman muka namun langsung menuju ke ruang di mana kemungkinan tulisan kita akan dimuat. Bagaimana hidup seorang pengarang yang terus berkarya, rajin membaca, namun selalu menghasilkan karya yang hanya pantas menuju ke tong sampah dalam kantor redaksi atau "trash" dalam mailbox e-mail redaksi?


Ada orang yang mungkin akan mengurangi intensitas menulisnya ketika mengalami hal ini. Orang-orang ini dalam pembenaran anggapannya mulai berangan-angan memiliki karya serupa Harper Lee yang buku sematawayangnya memenangkan Pulitzer. Mereka mungkin akan berpikir: kalau bisa aku akan menulis 1 buku atau karya saja seumur hidupku, sesuatu yang benar-benar hebat, sebagai pembuktian bahwa aku penulis hebat, dan kemudian aku baru mati. Dengan cara demikian mereka berharap akan dikenang sebagai pengubah sejarah.


Tapi saya lebih memilih bersikap lain. Saya menulis bukan karena ingin diaku sebagai penulis hebat pada nantinya. Saya menulis karena saya mencintai menulis. Oleh karena itu tak masalah bagi saya bila karya-karya saya dimuat majalah yang menurut orang amat kacangan: Sahabat Pena, misalnya. Bila dibandingkan dengan Kompas atau Koran Tempo mungkin 1:100 bobot sastranya. (Kau hendak mengubah sejarah lewat cerpenmu di Sahabat Pena? Yang benar saja, gundul!).


Diaku sebagai penulis hebat atau tidak adalah anggapan orang. Bahkan karya kita yang dilemparkan ke keranjang sampah oleh redaktur bisa dianggap amat hebat oleh orang lain, setidaknya pacar kita. Inilah yang pada akhirnya menjadi batu uji bagi para penulis. Masihkah kita akan menulis ketika orang tak membaca karya kita? Dan masihkah kita mau belajar lewat membaca dan menumbuhkan kepekaan agar tulisan kita menjadi lebih baik? Dan bila kita itu dilepas sendirian, masihkah kita akan berkarya?


Karya-karya Kafka diterbitkan anumerta, begitu juga sebagian karya Tolkien. Tolkien sendiri merilis buku yang ia karang sendiri, The Hobbit saat ia berusia 45 tahun. Ia menulis keseluruhan trilogi "The Lord of the Rings" (LotR) selama kurang lebih tiga belas tahun (yang baru diterbitkan tahun 1954). Tolkien bahkan pernah mengaku kalau dirinya bukan penulis hebat. Inilah karya-karya yang digarap dengan cinta kepada aksara. Inilah yang membuatnya mempelajari bahasa Anglo-Saxon kuno yang kemudian dimodifikasinya sendiri sebagai bahasa peri dalam LotR.


Poin yang saya ingin tegaskan adalah kecintaan Tolkien pada bahasa. Itulah yang membuatnya mengarang setiap karya-karyanya dengan sesempurna mungkin. (Saya tidak tahu apakah dia lebih gila dalam soal kesempurnaan dibandingkan Tolstoy yang mengedit "Anna Karenina" sebanyak lebih dari 120 kali sebelum naik ke penerbitan.) Tanpa bermaksud menjadi naif, saya rasa bila rasa cinta itu sudah ada, rasanya kok mau kalah lomba, ditolak redaksi, tak terlalu masalah. Yang penting (belajar dan) menulis, kalah (atau tak dimuat) ya tidak apa-apa!

Serba-serbi Elyon

Bagi yang sangat amat asing dengan apaan sih Elyon itu? Elyon? Batalion? Medalion? Udah deh pokoknya klik disini aza: http://www.elyonews.org Nah kalau udah ngeh baru terusin bacanya.


Elyonews Telah 8 Tahun, Masuk Tahun Ke 9!

Selamat untuk seluruh warga Elyon karena medianya telah 8 tahun hidup! Selamat kepada para redaksinya yang berulang kali ganti generasi tapi tetap memertahankan semangat penerbitan laporan berita dan penulisan opini. Selamat kepada para pembacanya yang terus menyemangati media Ens itu. Selamat kepada para penulis dan kolumnis Ens yang memberikan naskah demi naskah tanpa kenal lelah.

Cerita 1

Kalau tidak ada sanggahan, maka Juli 1988 adalah sejarah pertamakali terbitnya media pertama di Elyon: ELTRON THE WALL MAGAZINE, dan disusul dengan Buletin GABRIEL bulan depannya. Lalu pada Nopember 1999, sebelas tahun kemudian terbit Elyonews. Perhatikan dua angka pada tahun-tahun itu adalah kembar. Maka menurut lubuatan, 1999 + 11 adalah th. 2010 atau 2111 akan terbit media Elyon yang cukup revolusioner. Jadi waktunya 3 atau 4 tahun lagi. Siapa yang akan mengingat lamaran ini?

Cerita 2

Melanjutkan CERITA 1, maka kalau sok-sokan mau diadakan peringatan atau perayaan sejarah media di Elyon, maka tahun depan adalah Dirgahayu 20 Tahun Sejarah Media Di Elyon. Siapa mau peduli, silakan urus sendiri! (Maksood lhoeh?!).


Opini

Tentang Tan Malaka: Harta yang ditinggalkan hanya sepasang kemeja, topi, celana, tongkat, pensil, dan buku tulis –benda yang menjadi andalan baginya untuk menulis sejarah. Tan Malaka membuktikan harta terbesar sebuah bangsa adalah kekayaan jiwa pemikiran yang disajikan lewat guratan pena. [KOMPAS, 13 Agt 2007: Harry A Poeze: Tan Malaka: Verguisd en Vergeten, 2007].


Angka

- Judul buku yang dicetak pertahun di Indonesia: 4.800, Malaysia: 7.000, Thailand: 8.000, Jepang: 10.000, Korea Selatan: 43.000, Amerika Serikat: 50.000.

- [Th. 2003] Belanja Rokok penduduk Indonesia Rp. 150 trilyun, pada tahun yang sama belanja untuk Surat Kabar Rp. 4,9 trilyun; atau hanya 0.03 persennya.

Tuesday, October 16, 2007

Vancouver International Writers and Readers Festival

Kayaknya tidak begitu banyak penulis top Canada yang dikenal terutama di dunia fiksi. Maka tepat pula kota Vancouver mengadakan festival penulis Internasional dan pembaca. Yang diadakan dari tanggal 16 sampai dengan 21 Oktober 2007. Dan tahun ini merupakan tahun yang ke 20 bagi Vancouver mengadakan acara tahunan ini. Acara ini selain bertujuan untuk saling bertukar pengalaman dari para penulis di mancanegara. Juga untuk menggairahkan memunculkan penulis-penulis baru berkualitas internasional dan menggalakkan pembacaan buku fiksi atau pun non-fiksi.

Tidak banyak penulis dari Canada yang kukenal, mungkin seperti Alice Munro (cerpenis), Margaret Atwood (penulis novel, cerpen, puisi, anak-anak), Jane Urquhart (novelis), Alistair Macleod (novelis), Douglas Coupland (novelis); dan banyak dari kita yang dari Indonesia mengenal penulis Internasional satu ini yakni Michael Ondaatje, meski beliau tidak lahir di Canada tetapi telah menetap di Canada.

Dan penulis top yang paling anyar menetap di Canada adalah Yann Martel dengan novelnya yang secara gerilya memenangkan banyak penghargaan "Life of Pi". Panitya festival bekerja sama dengan penerbit Canada, Random House akan menghadirkan Yann Martel di Vancouver pada bulan Desember 2007.

Menumbuhkan seorang penulis yang berkualitas tidaklah mudah. Bukan hanya diperlukan bakat, fasilitas tetapi juga usaha kepelatihan kepenulisan, kecerdasan, kesabaran dan tahan banting. Salah satu produk lokal Jen Sookfong Lee lulusan Universitas British Columbia jurusan kepenulisan kreatif menerbitkan sebuah novel pertamanya setelah 20 tahun bergelut dengan dunia tulis menulis. The End of East, judul dari novel pertama Lee mendapat banyak pujian dari pengulas buku dari berbagai surat kabar Canada.

Monday, October 15, 2007

Menumbuhkan Seorang Pembaca

Tanggal 3 Oktober yang lalu perusahaan surat kabar dimana aku bekerja mengadakan acara “Menumbuhkan Seorang Pembaca” (MSP) yakni penjualan surat kabar untuk satu hari itu akan disumbangkan 100% untuk pembelian literatur yang diatur oleh perpustakaan-perpustakaan sekolah umum (dibawah departemen pendidikan pemerintah) yang memerlukan.

Program ini dimulai sejak tahun 1997 di Vancouver, dan pada tahun 2001 sekitar 100 perusahaan ikut menyumbang akan acara ini. Dan pada tahun 2005, MSP telah menjadi acara tahunan bagi semua propinsi di seluruh Canada.


Acara ini diadakan karena adanya keprihatinan dari pada pakar pendidik dimana diketahui bahwa dari seluruh penduduk Canada yang berjumlah kira-kira 31 juta orang diperkirakan 22% orang dewasa dari jumlah tersebut adalah buta huruf!


Maka pakar pendidikan bekerja sama dengan media surat kabar untuk mengadakan program ini untuk memperkecil jumlah buta huruf yang ada di Canada melalui penyediakan fasilitas buku-buku bacaan kepada para murid (khususnya) bagi sekolah-sekolah dasar.


Dari sekolah dasar diharapkan sejak sedini mungkin para murid dapat dibiasakan mempunyai kebiasaan untuk membaca. Karena kebiasaan membaca merupakan bekal rentetan investasi yang berharga untuk masa depan.


Karena dengan membaca kita dapat mempunyai pengetahuan, membaca membantu kita mengerti ekspresi emosi, bersosialisasi, eksplorasi dunia, mengasah imajinasi, mendulang ketertarikan baru (yang sebelumnya mungkin kita tidak pernah tahu) dan yang pasti melatih kinerja otak kita dengan aktif (beda dengan kinerja otak manusia ketika hanya menonton teve - pasif). Dan mungkin masih banyak gunanya yang lain.


Maka hobi membaca, mempunyai kebiasaan membaca, (dari membaca akan mengakibatkan ekspresi menulis, akting, ide-ide yang luar biasa) adalah bukanlah yang buruk; kebiasaan yang baik. Tidak ada salahnya mempunyai kebiasaan membaca. Dengan membaca seorang anak waktu dewasa dia akan dapat dengan mudah melamar pekerjaan yang dibacanya di surat kabar atau internet. Dia akan mengendarai mobil dengan mudah karena dia tahu tanda lalu lintas dengan membaca. Mudah membaca peta. Maka ada pepatah semakin banyaknya penduduk yang dapat membaca, dapat dikatakan semakin maju negara tersebut. Kita perlu berdoa dan berjuang untuk memberantas buta huruf di negara Indonesia, khususnya dengan letak geografis pulau-pulau yang sporadis akan lebih menyulitkan mengajak banyak anak-anak untuk memulai kebiasaan membaca.


Semua pihak harus mempunyai tekad yang sama untuk mencerdaskan bangsa, diharapkan dengan bangsa yang cerdas, rakyat akan menjadi makmur dan sentosa. MSP Canada hingga saat ini yang baru berjalan 10 tahun dikerjakan dengan semangat gotong royong, dari para konglomerat, politikus, olahragawan, artis , aktris aktor, penyanyi kondang internasional sampai loper koran menyempatkan diri ‘menjual’ surat kabar tanpa bayaran.


Penyanyi kondang Canada, Michael Buble juga sempat menyumbang 30% dari hasil konsernya di Canada untuk MSP. Microsoft Canada juga ambil bagian. Diperkirakan untuk hasil penjualan plus sumbangan MSP akan mencapai $2,7 juta dolar Canada tahun 2007 ini. Nggak nyangka kan ya, kalau kita kira negara maju kayak Canada (yang kita kira sudah pasti buta huruf itu bukan jamannya lagi tapi nyatanya masih banyak) yang hampir dari semua segi kehidupan telah teratur dengan rapi dan baik, namanya buta huruf itu masih ada.


Kalau teringat Tanah Air, wahhh……… Dapat dibayangkan berapa juta penduduk yang masih buta huruf. Belum lagi masalah dana, dan penyaluran dana, korupsi, dan komplikasi masalah lainnya. Menyedihkan??? Tidak. Itu realita koq. Realita yang sulit diubah. Kalau dengan kekuatan manusia itu mustahil. Bagaimana dari para penulis, pembaca, cendekiawan dan orang-orang yang sadar akan pentingnya membaca (kelompok minoritas) akan merealisasikan program kerja yang super ajubilah itu? @&^%#<&*(!|&>

Thursday, September 6, 2007

Chimamanda Ngozi Adichie, Jeritan Nigeria

KOMPAS 14 Juni 2007

Nigeria kaya minyak dan seharusnya bisa menjadi negara yang kaya. Namun negara ini terlilit utang, rakyat mengalami lonjakan harga bahan bakar minyak, dan terjebak konflik sektarian yang tak berujung.


Elite Nigeria memburu kesenangan sendiri, melupakan tanggungjawab sosial. Korupsi pun menjadi ciri utama di negara yang dipimpin oleh Presiden Umaru yar’Adua, pewaris diktarktor militer ini. Nigeria menjadi negara terkorup no. 142 di dunia dari 162 negara (Indonesia no. 130).


Adichie (September 1977) lahir dan dibesarkan di negara ini. Ia marah dan sedih terhadap keadaan ini. Pemberontakan terhadap kemunafikan dan moral elite yang di titik nadir ini, mendorongnya menggoreskan tinta, berisi jeritan hati. Muncullah novel The Purple Hibiscus pada 2003. Novel ini bercerita tentang Kambili (15), perempuan cantik yang rapuh di tengah galaunya keadaan negara. Juga soal kehidupan warga yang fanatik beragama, namun korupsi tetap merajalela.


Novel pertama Adhicie pun dijuluki sebagai Buku Tahun Ini oleh San Fransisco Chronicle. Tak lama kemudian, muncul novelnya berjudul Half of a Yellow Sun. Novel ini bercerita tentang tokoh-tokohnya yang terjebak dalam kisruh politik, dan berusaha mengamankan hidupnya. Dan juga tertulis tentang pertikaian ras, moral, cinta dan pengkhianatan. Novel ini dianugerahi Orange Prize (penghargaan yang diberikan oleh lembaga sastra dari Inggris untuk keaslian cerita fiksi yang ditulis oleh penulis wanita di seluruh dunia), pada Juni lalu dan Adichie dihadiahi 30 ribu poundsterling (sekitar Rp 500 juta). “Ketika saya diberitahu bahwa buku saya menjadi favorit, rasanya seperti mau mampus kesenangan,” ungkapnya.


Ketua juri, Muriel Gray, memuji: “Ini adalah sebuah buku penting yang menggetarkan karya seorang penulis istimewa.” Adichie tak seoptimis karyanya memberi pengaruh, namun ia berharap suatu saat sastra bisa berdampak pada cara berpikir.


Adichie sekarang tinggal di AS, dan ia pun tak memilih cara hidup lain, tetapi terus menulis dan menulis. Ia kini menjadi kebanggaan setiap warga Nigeria di seluruh dunia.

Perpustakaan dan Minat Menulis

Oleh: Anwar Holid, editor Penerbit Jalasutra, eksponen komunitas TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.


Universitas sejati saat kini ialah koleksi buku.” ---Thomas Carlyle (1795 - 1881)

ERNEST HEMINGWAY pernah menasihati: tulislah yang engkau ketahui, tapi Arthur Phillips menantang: bagaimana bila penulis tak tahu apa-apa? Jangan khawatir, jawabnya, pergi saja ke Perpustakaan British Museum. Di sana penulis akan diberi tahu segala yang tidak diketahuinya, dan kemudian dia bisa mencoba menuliskannya sebaik mungkin. Juga akan dijawab segala pertanyaan, tak peduli berapa banyak, betapa konyol dan salah, biarpun kotor dan tak masuk akal.


BAYANGKAN ada 22 orang dari berbagai disiplin ilmu masing-masing punya sekitar 15.000 buku. Total menumpuk 330.000 judul. Tapi bagaimana agar orang lain bisa manfaatkan pustaka sekaya itu bila semuanya belum didata - dikatalog, dan tidak terkumpul melainkan 'tercerai berai' di berbagai tempat, kadang-kadang disimpan dalam peti, bahkan satu-dua di antaranya rusak. Buku itu baru bisa diakses oleh orang-orang dekat pemiliknya saja, yang tidak jarang pemiliknya lupa. Idealnya dibangun perpustakaan yang layak untuk simpan dan kelola buku sebanyak itu, dengan aksesibilitas seluas mungkin, dikelola dengan manajemen bagus. Buku baru bermanfaat bila dibaca, dipahami, ditafsir, dianalisis dan dikritik isinya.


Perpustakaan baru bisa dikatakan 'hidup' bila pengunjung makin terikat oleh keberadaannya, makin kerap berkunjung, makin sering meminjam koleksinya. Bahkan tak jarang seorang penulis/peneliti sampai rela tinggal di perpustakaan demi tulisannya. Jean-Paul Sartre atau Jorge Luis Borges adalah contoh terbaik. Di perpus itu mereka menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan membaca, menafsir, menulis, membentuk dunia ideal, dan pada akhirnya dicoba diejawantahkan. Mereka bersentuhan dengan teks dan buku setiap saat, membaui huruf, kertas, debu, udara, ruang, tinta, cover, isi buku, mencoba mencerap isinya. Memang pembaca tidak selamanya mampu menuliskan yang pernah mereka baca---sebab menulis adalah fakultas lain lagi dari seorang manusia---tapi setidaknya membaca bisa diharapkan mampu menumbuhkan syaraf ekspresi manusia, yang bisa diungkapkan dengan cara terbaik sesuai bakat, kecenderungan, latihan, dan juga disiplin.


Perpustakaan bisa berinisiatif mengadakan temu rutin, tawarkan sesuatu yang bisa menarik, inisiasi klub buku, adakan workshop menulis, bekerja sama dengan toko buku, penerbit, atau lembaga lain untuk memberi layanan maksimal. Di perpustakaan seperti itu pengunjung/anggota bisa baca dengan tenang, menulis secara ekstensif, mencari rujukan, dengar musik, nonton film. Mereka membentuk komunitas, memberi denyut kehidupan, napas budaya. Orang rela lakukan apa pun demi mendapatkan buku yang betul-betul ingin mereka baca, ingin dikuras isinya. Penulis butuh buku yang betul-betul mampu menginspirasi, menggerakkan syarafnya untuk mulai menulis.


Sebuah perpustakaan---apalagi bila bagus---layak dipilih sebagai sahabat penulis. Jadikan perpustakaan sebagai tempat nyaman untuk mengisi pengetahuan dan memenuhi kehausan ilmu; pusat orang berinteraksi, dan mencoba beri makna pada kehidupan. [talkshow 'Menggali Potensi Menulis Melalui Minat Baca', UPT Perpustakaan STT Telkom, 15 Des 2004].