(http://www.geocities.com/sidiknugroho.htm)
“Aku dapat tidur di suatu hari dengan nyenyak bila telah menyelesaikan jadwal menulis yang kubuat untukku di hari itu." (Stephen King)
Saya kalah dalam sebuah lomba, baru-baru ini. Ya, lomba mengarang cerpen Femina. Namun, bukan hanya soal lomba itu. Yang saya alami selama empat tahun berkecimpung di dunia kepenulisan adalah kekalahan semata-mata. Tulisan saya amat jarang dimuat media cetak. Padahal saya sudah membaca buku sastra sebanyak mungkin: dari tentang menulis, novel, kumpulan cerpen, atau resensi buku. "Sebanyak mungkin" yang tadi saya tulis adalah dalam ukuran saya: 1 buku 1 minggu. Buku-buku yang saya baca kebanyakan berjumlah halaman lebih dari 200 halaman.
Saya sudah membaca sebanyak mungkin dan menulis sebanyak mungkin, tapi selalu saja: ditolak. Bukan hanya ditolak, saya pernah juga di-sms-i dengan gelegar amukan oleh salah satu redaktur koran terkemuka karena terburu-buru menanyakan cerpen saya layak muat atau tidak.
Apa yang saya alami mungkin juga dialami oleh penulis lain. Karya kita tak kunjung dimuat dan kita tak sabar menunggu hasil. Kita kerap melihat-lihat koran di kios terdekat dengan rumah tanpa membelinya, juga tanpa memerhatikan halaman muka namun langsung menuju ke ruang di mana kemungkinan tulisan kita akan dimuat. Bagaimana hidup seorang pengarang yang terus berkarya, rajin membaca, namun selalu menghasilkan karya yang hanya pantas menuju ke tong sampah dalam kantor redaksi atau "trash" dalam mailbox e-mail redaksi?
Tapi saya lebih memilih bersikap lain. Saya menulis bukan karena ingin diaku sebagai penulis hebat pada nantinya. Saya menulis karena saya mencintai menulis. Oleh karena itu tak masalah bagi saya bila karya-karya saya dimuat majalah yang menurut orang amat kacangan: Sahabat Pena, misalnya. Bila dibandingkan dengan Kompas atau Koran Tempo mungkin 1:100 bobot sastranya. (Kau hendak mengubah sejarah lewat cerpenmu di Sahabat Pena? Yang benar saja, gundul!).
Diaku sebagai penulis hebat atau tidak adalah anggapan orang. Bahkan karya kita yang dilemparkan ke keranjang sampah oleh redaktur bisa dianggap amat hebat oleh orang lain, setidaknya pacar kita. Inilah yang pada akhirnya menjadi batu uji bagi para penulis. Masihkah kita akan menulis ketika orang tak membaca karya kita? Dan masihkah kita mau belajar lewat membaca dan menumbuhkan kepekaan agar tulisan kita menjadi lebih baik? Dan bila kita itu dilepas sendirian, masihkah kita akan berkarya?
Karya-karya Kafka diterbitkan anumerta, begitu juga sebagian karya Tolkien. Tolkien sendiri merilis buku yang ia karang sendiri, The Hobbit saat ia berusia 45 tahun. Ia menulis keseluruhan trilogi "The Lord of the Rings" (LotR) selama kurang lebih tiga belas tahun (yang baru diterbitkan tahun 1954). Tolkien bahkan pernah mengaku kalau dirinya bukan penulis hebat. Inilah karya-karya yang digarap dengan cinta kepada aksara. Inilah yang membuatnya mempelajari bahasa Anglo-Saxon kuno yang kemudian dimodifikasinya sendiri sebagai bahasa peri dalam LotR.
Poin yang saya ingin tegaskan adalah kecintaan Tolkien pada bahasa. Itulah yang membuatnya mengarang setiap karya-karyanya dengan sesempurna mungkin. (Saya tidak tahu apakah dia lebih gila dalam soal kesempurnaan dibandingkan Tolstoy yang mengedit "Anna Karenina" sebanyak lebih dari 120 kali sebelum naik ke penerbitan.) Tanpa bermaksud menjadi naif, saya rasa bila rasa cinta itu sudah ada, rasanya kok mau kalah lomba, ditolak redaksi, tak terlalu masalah. Yang penting (belajar dan) menulis, kalah (atau tak dimuat) ya tidak apa-apa!
No comments:
Post a Comment