Friday, October 26, 2007

Hannah Arendt, Filsuf Yang Juga Reporter

Ketika Adolf Eichmann ditangkap di Argentina oleh agen rahasia Mossad, Israel dan diajukan ke pengadilan di Yerusalem pada 1961, Hannah Arendt melihat sebuah kesempatan langka. Ia pun menyediakan diri sebagai reporter majalah The New Yorker yang akan meliput persidangan itu. Ketika ditanya, mengapa ia, seorang penulis dan pengajar filsafat politik bersedia melaksanakan tugas reportase, Arendt menjawab: karena pengadilan ini memberi kesempatan baginya untuk berjumpa dalam “tubuh dan darah” salah satu penjahat Nazi yang paling dicela. Arendt ingin mengetahui, seandainya bisa, kesalahan individual Eichmann dan mengapa dia melakukan apa yang dia lakukan.


Sebelum pengadilan Eichmann, para penjahat perang Nazi telah diajukan ke muka sidang di Nuremberg (1945-49). Mereka yang datang ke pengadilan untuk melihat monster yang kejam, kecewa. Sebab para terdakwa ternyata adalah para ayah yang baik bagi anak dan istri, penyayang binatang, tidak angkuh –namun melakukan kejahatan yang tak terkatakan.


Arendt menulis, seperti tersangka sebelumnya, Eichmann pun tidak pernah berniat berbuat jahat. Menurut pengakuannya, ia sekadar melaksanakan tugas sebagai kepala urusan transportasi orang Yahudi ke kamp maut. Menurut Arendt, yang membuat Eichmann dapat melakukan kejahatan dalam skala yang demikian luas itu bukanlah sifat jahat, patologi, atau keyakinan ideologis tertentu, melainkan semata-mata ketidakmampuannya berpikir, tepatnya berpikir menurut sudut pandangan orang lain. Eichmann tidak punya imajinasi dan empati sehingga tak mampu membayangkan konsekuensi tindakannya bagi orang lain.


Hanya melaksanakan tugas, itulah pembelaan Eichmann. Ia bahkan membanggakan diri telah setia mengemban tugas hingga akhir, dan menyatakan diri bahwa “sepanjang hidupnya telah bertindak … sesuai dengan prinsip dan keyakinan oleh Kant.”


Kehadiran Arendt di ruang sidang tersebut menghadapkannya pada persoalan hukum yang pelik: sebenarnya siapa yang bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan rezim Nazi? Sejauh mana orang yang melakukan kejahatan atas perintah negara dan pemimpin bertanggungjawab atas kesalahan yang ia buat? Dan kejahatan yang melibatkan sistem, bagaimana keadilan ditegakkan dan kebenaran diungkap?


Setelah Hitler bunuh diri dan rezim Nazi kalah, banyak orang Jerman berseru: “Kita semua bersalah.” Orang-orang ini merasa bersalah, padahal mereka saat itu tidak ikut ambil bagian. Bagi Arendt, apa yang terdengar sebagai ungkapan kesalehan dan keluhuran hati itu justru berakibat fatal. “Ketika semua orang bersalah, tak ada yang salah. Seruan itu justru membebaskan para penjahat – orang yang nyata-nyata berbuat – dari kesalahan mereka. Untuk meluruskan rasa bersalah yang tidak pada tempatnya ini, Kebersalahan (guilt) harus dibedakan dari tanggungjawab (responsibility).” [BASIS, Maret-April 2007: KEJAHATAN ATAS NAMA NEGARA, A Sumarwan]

No comments: