Oleh: Sirikit Syah, Waka Stikosa-AWS, Seseorang ditembak mati karena penggunaan bahasa. Seorang menteri
Filsuf China Kong Hu Cu (Confusius, 1551-479 SM), ketika ditanya "Apa yang pertama kali dilakukan, seandainya terpilih menjadi pemimpin negara?", menjawab, "Tentu saja meluruskan bahasa." Jawaban ini mengejutkan. Lalu dia menjabarkan: "Jika bahasa tidak lurus, apa yang dikatakan bukanlah apa yang dimaksudkan. Jika yang dikatakan bukan yang dimaksudkan, apa yang seharusnya diperbuat tidak diperbuat. Jika tidak diperbuat, moral dan seni merosot. Jika moral dan seni merosot, keadilan akan tidak jelas arahnya. Jika keadilan tidak jelas arahnya, rakyat hanya berdiri dalam kebingungan yang tak tertolong. Maka, tak boleh ada kesewenang-wenangan dengan apa yang dikatan. Ini paling penting di atas segala-galanya."
Sampai sekarang
Noam Chomsky, linguist yang sangat kritis terhadap media barat, terus menerus mencatat penggunaan bahasa yang menyesatkan oleh media barat. Dia menandai bagaimana seorang anak pelempar batu di Palestina disebut "teroris" dan tentara
Jake Lynch dan Annabel McGoldryck mengajarkan, penggunaan bahasa merupakan salah satu faktor penting pemicu konflik. Peace Journalism menganjurkan wartawan menghilangkan sterotipe (seperti contoh di atas tentang bangsa Arab), membuang label (Tomy Winata disebut pemulung), menghilangkan kata sifat, tidak menggunakan kata-kata konotatif atau bermakna ganda, tidak hiperbola, dan seterusnya. Media
Media
Salah satu syarat utama menjadi wartawan seharusnya penguasaannya atas bahasa, bukan sekadar ketrampilannya melakukan wawancara. Masih sering kita baca: "Pencuri itu berhasil ditangkap polisi". Siapa yang berhasil? Kalau pencuri berhasil, dia tak akan ditangkap polisi, bukan? Pernah juga saya dengar di televisi: "Sistem lalu lintas yang baru ini dapat memperlancar kemacetan." Kemacetan kok diperlancar?
No comments:
Post a Comment