Oleh: Sirikit Syah, Waka Stikosa-AWS, Surabaya Post, 11 Des 2004: “Haus Buku, Minat Baca, Syaraf Menulis”.
Seseorang ditembak mati karena penggunaan bahasa. Seorang menteri Israel berpidato, bahwa "Bangsa Arab itu adalah two-legged beasts. Bahkan melihat caranya beranak pinak, mereka sama dengan lice." Tak berapa lama kemudian, dia ditembak mati oleh gerilyawan Palestina. Tak terhitung perang antar suku, antar bangsa, kerusuhan di kota besar yang plural, disebabkan oleh penggunaan bahasa. Hate speech. Pernyataan kebencian.
Filsuf China Kong Hu Cu (Confusius, 1551-479 SM), ketika ditanya "Apa yang pertama kali dilakukan, seandainya terpilih menjadi pemimpin negara?", menjawab, "Tentu saja meluruskan bahasa." Jawaban ini mengejutkan. Lalu dia menjabarkan: "Jika bahasa tidak lurus, apa yang dikatakan bukanlah apa yang dimaksudkan. Jika yang dikatakan bukan yang dimaksudkan, apa yang seharusnya diperbuat tidak diperbuat. Jika tidak diperbuat, moral dan seni merosot. Jika moral dan seni merosot, keadilan akan tidak jelas arahnya. Jika keadilan tidak jelas arahnya, rakyat hanya berdiri dalam kebingungan yang tak tertolong. Maka, tak boleh ada kesewenang-wenangan dengan apa yang dikatan. Ini paling penting di atas segala-galanya."
Sampai sekarang surat kabar prestisius The Christian Science Monitor tak mau menggunakan kata "insurgent" untuk me-label gerilyawan Irak. Kata redakturnya, "Insurgent itu artinya pemberontak pada pemerintahan yang sah. Lha, di Irak ini, mana pemerintahannya yang sah?" Sementara itu, ketika terjadi serangan 9/11 2001, CNN dalam pemberitaannya menggunakan banner "America under Attack". Ketika menyerang Afghanistan, CNN menggunakan banner "War on Terrorism". Betapa tidak adilnya. Mengapa tidak "America Attacks Back", atau "Afghanistan under Attack too".
Noam Chomsky, linguist yang sangat kritis terhadap media barat, terus menerus mencatat penggunaan bahasa yang menyesatkan oleh media barat. Dia menandai bagaimana seorang anak pelempar batu di Palestina disebut "teroris" dan tentara Israel menggempur kamp pengungsian disebut "tindakan pencegahan".
Jake Lynch dan Annabel McGoldryck mengajarkan, penggunaan bahasa merupakan salah satu faktor penting pemicu konflik. Peace Journalism menganjurkan wartawan menghilangkan sterotipe (seperti contoh di atas tentang bangsa Arab), membuang label (Tomy Winata disebut pemulung), menghilangkan kata sifat, tidak menggunakan kata-kata konotatif atau bermakna ganda, tidak hiperbola, dan seterusnya. Media massa suka menulis adanya massacre (pembantaian) untuk sebuah pertempuran antar suku atau bahkan sekadar pembunuhan. Padahal yang dimaksud pembantaian hanya bila korban berjumlah banyak, dan para korban itu sedang tidak sadar akan diserang, dan tidak membawa senjata. Kalau para korban itu tengah berjaga-jaga dengan membawa senjata, itu bukan pembantaian, itu pertempuran.
Media massa juga suka menggunakan kata `sadis'. Misalnya, "Perempuan itu membunuh pemerkosanya dengan sadis.” Perempuan itu korban perkosaan dan dia membunuh karena membela diri. Tentu tidak sama dengan perbuatan yang dapat dikatagorikan `sadis', seperti membunuh karena merampok, mencuri, atau balas dendam, melakukan mutilasi pada tubuh korban dengan penuh kesadaran, menikmati proses pembunuhan, dan seterusnya.
Salah satu syarat utama menjadi wartawan seharusnya penguasaannya atas bahasa, bukan sekadar ketrampilannya melakukan wawancara. Masih sering kita baca: "Pencuri itu berhasil ditangkap polisi". Siapa yang berhasil? Kalau pencuri berhasil, dia tak akan ditangkap polisi, bukan? Pernah juga saya dengar di televisi: "Sistem lalu lintas yang baru ini dapat memperlancar kemacetan." Kemacetan kok diperlancar?
No comments:
Post a Comment