Kalau Anda pernah melihat pertandingan atletik estafet 4 x 100 meter misalnya, disana Anda melihat empat pelari akan beradu cepat sambil memberikan atau menyambungkan tongkat estafet dari pelari pertama ke pelari kedua sampai kepada pelari yang keempat. Gambaran itu yang pengen saya gambarkan bahwa tongkat kepemimpinan pelayanan itu juga demikian.
Sewaktu saya sebagai salah satu redaksi buletin dari gereja saya selama dua tahun, maka pemimpin redaksi buletin tersebut berbicara kepada saya untuk melanjutkan tongkat kepemimpinan buletin tersebut. Pertama tentu saya cukup terkejut karena tidak pernah melintas dalam pikiran saya untuk memimpin pelayanan buletin tersebut. Tetapi pada waktu itu saya juga cukup tersudut dan mau tidak mau saya harus menerima tongkat kepemimpinan tersebut.
Learning by doing. Itu yang saya lakukan. Sewaktu saya diangkat menjadi pemimpin redaksi buletin tersebut mantan pemimpin buletin masih aktif melayani dalam keredaksian untuk melatih dan membimbing saya. Puji Tuhan, dengan susah payah saya dapat melakukan pelayanan tersebut. Meskipun ketika saya pikir kembali pada waktu itu, sebenarnya prosedur tersebut kurang baik. Andaikata jika dan misalnya saya tidak mampu melakukan kepemimpinan itu tentu pelayanan tersebut akan kacau dan pada ujung-ujungnya pelayanan dan penerbitan buletin tersebut akan terhenti.
Dari pengalaman tersebut saya tidak ingin tongkat kepemimpinan berikutnya akan terjadi seperti itu lagi. Maka pada waktu saya merekrut anggota redaksi, saya juga mulai melihat pribadi tiap pribadi, siapa yang kira-kira mampu menjalankan tugas kepemimpinan tersebut. Pelayanan saya telah berjalan dua tahun maka seharusnya saya sudah memberikan tongkat estafet tersebut kepada pelari yang lainnya. Tetapi dari pertimbangan hamba Tuhan dan Majelis serta teman yang saya yakini akan dapat melanjutkan pelayanan tersebut masih belum siap. Maka tongkat estafet itu masih harus saya genggam setahun lagi. Setelah itu saya mempromosikan si A, sebut saja teman saya tersebut, menjadi pemimpin redaksi. Saya juga masih harus mendampingi dia kira-kira selama 2 tahun. Lalu saya melepaskan pelayanan itu untuk melakukan pelayanan di komisi lain. Saya hanya membantu secara freelance.
Tetapi apa yang terjadi? Jika dihitung-hitung teman saya A, seharusnya dia sudah dapat memimpin pelayanan tersebut apalagi selama 3 tahun dia sudah saya coba untuk memimpin pelayanan tersebut (meski saya ada di sampingnya). Dia tidak dapat melanjutkan pelayanan tersebut. Dengan seribu satu alasan yang masuk akal, menjadikan pelayanan itu macet. Saya mengevaluasi, apakah saya salah untuk membimbingnya atau mengajarnya? Apakah dia tidak mempunyai talenta untuk memimpin? Saya kira tidak. Maka itu saya dapat mengatakan bahwa mencari sumber daya manusianya dalam pelayanan literatur itu tidak mudah. Saya kira Tuhan sudah memberikan kesempatan, jalan untuk pelayanan itu terbuka lebar. Dari hamba Tuhan, Majelis, sampai jemaat mendukung pelayanan tersebut, dan soal dana juga tidak masalah.
Kejadian ini terulang kembali dalam pelayanan saya di Vancouver (setelah berselang 4 tahun). Kali ini bukan dalam bidang pelayanan buletin tetapi sudah beralih ke dunia maya, internet. Pelayanan situs gereja. Tetapi pada dasarnya pelayanannya juga hampir sama. Menyajikan tulisan-tulisan karya asli dari para anggota redaksi. Kembali saya ditunjuk sebagai pemimpin redaksi dari hamba Tuhan dan Majelis; dan cerita tongkat estafet kepemimpinan tersebut mirip sekali dengan cerita di atas yang saya alami waktu pelayanan di Surabaya. Pelayanan itu pun terhenti pada waktu beralih kepada pemimpin yang berikutnya.
Apakah isi buletin itu penting? Tentu saja. Kalau isinya asal-asalan, tidak menarik, tata letaknya kurang atraktif, maka impresi pembaca juga tentu akan jatuh. Maka perlu dibuat suatu standar gol yang hendak dituju. Di satu gereja, masalah isi buletin yang timbul adalah ketika hamba Tuhan yang menjadi penasehat pelayanan tersebut mengatakan bahwa isi harus berbobot, berkualitas. Saya sangat setuju. Tetapi masalahnya siapa saja pengisi dari buletin tersebut. Jika pengisi atau penulis buletin tersebut dari komisi remaja, pemuda, jemaat awam, mampukah mereka menulis tentang tulisan kekristenan yang berkualitas?
Boro-boro mau menulis tulisan yang berbobot, mau menulis saja sudah senang banget, iya enggak? Apalagi para penulis tersebut belum pernah mengikuti tentang kursus menulis keq, atau kursus Alkitab keq; jadi mana mungkin mau menulis tulisan yang bebobot tentang kekristenan? Usulan nyeleneh pun muncul, bagaimana kalau isinya semua hamba Tuhan yang menulis? Kalau hamba Tuhan pun punya waktu senggang sih mungkin bisa. Tapi jadwal pelayanan saja sudah membuat para hamba Tuhan itu pontang-panting. Bagaimana masih mau menulis lagi?
Selain isi yang berbobot tentu saja seberapa jauh isi itu dapat menarik pembaca ingin membacanya. Dunia sudah begitu bertaburan dengan tabloid yang berisikan berita-berita isapan jempol dan yang terkini. Bagaimana dengan media kristiani? Apakah juga hendak bersaing menyajikan berita-berita populer? Jika ada niatan itu sampai kapan pun tidak bakal mampu menyaingi majalah tabloid yang paling jelek sekalipun.
Dahulu saya pernah mendengar bahwa buletin gereja seharusnya untuk jemaat gereja (pada khususnya) tetapi tidak menutup untuk jemaat lain yang tertarik untuk membacanya atau orang Kristen pada umumnya. Maka buletin gereja adalah untuk penunjang pemberitaan Firman Tuhan dari mimbar. Buletin gereja harus disesuaikan dengan jadwal dan tema kotbah. Karena buletin gereja bukanlah tabloid gereja dari sebuah gereja.
Hal itu akan berlainan jika penerbit buletin Kristen berdiri secara independen. Mereka dapat mencakup berita-berita kekristenan yang aktual di seluruh dunia atau di negara tertentu. Berita-berita kekristenan yang menyangkut dengan misi, pengabaran injil, peliputan kebaktian kebangunan rohani dan masih banyak lainnya. Di Amrik sini buletin atau surat kabar semacam ini telah berjalan dengan baik dan sejak lama mereka menerbitkan. Mereka mampu membayar penulis profesional, penata letak profesional dan menerima iklan. Meski demikian mereka mendistribusikan secara gratis di tempat-tempat tertentu.
Penerbitan buletin, majalah atau surat kabar Kristen di Amrik, meski gratis, tidak semudah seperti di tanah air. Harus mempunyai ijin, tentu yang bersangkutan dengan lembaga, yayasan, institusi atau gereja; yang bersangkutan pula dengan pihak perijinan literatur pemerintah. Masalah yang tidak kalah penting adalah dana. Percetakan untuk buletin, majalah atau suratkabar Kristen disini tidak semurah di Indo. Biaya percetakan ini dapat mencapai ribuan dolar dalam skala gereja kecil untuk mencetak buletin gereja lokal saja. Maka penerbitan atau pelayanan ini harus direncanakan matang-matang. Karena selain uang yang digunakan harus dipertanggungjawbakan juga harus digunakan secara efisien supaya tidak terjadi penghamburan.
Maka tidak sedikit gereja yang memprioritaskan pelayanan literatur paling bawah sendiri. Karena sering kali pelayan gereja tidak mengerti pelayanan Tuhan yang sebenarnya. Seringkali pelayanan gerejawi yang dilakukan mirip seperti bisnis. Pelayanan yang dilakukan harus mempunyai dampak atau keuntungannya untuk gereja. Pelayan gereja tersebut salah alamat seharusnya mereka membuat bisnis sendiri bukan melayani Tuhan.
Dan yang paling dasar banyak pelayan gereja tidak mengerti apa pelayanan literatur yang sebenarnya. Padahal pelayanan literatur adalah salah satu cara menjangkau jiwa-jiwa yang belum mengenal Kristus. Tujuan ini yang seringkali dilupakan oleh banyak orang Kristen. Mereka menggangap pelayanan literatur sebagai salah satu bentuk pelayanan pelengkap, menyalurkan hobi para pemuda remaja dalam gereja, mengenalkan nama gereja (kalau yang ini daripada susah-susah mending buat kartu nama saja) dan mungkin masih banyak motivasi lainnya.
Pertanyaannya sekarang, seberapa penting pelayanan literatur itu bagi gereja lokal anda, sedangkan di gereja banyak jemaat yang mempunyai talenta menulis misalnya. Pemimpin gereja harusnya tanggap akan hal ini. Mungkin dapat membuat pelatihan kepenulisan, membuat rencana penerbitan dan distribusi, menjadikan pelayanan literatur bukan hanya sebagai pelayanan pelengkap. Tapi adakah orang-orang yang peduli akan hal ini? Sedangkan semakin hari media dunia semakin melahap, menggeser, menghimpit perlahan-lahan suara Kebenaran dalam gereja.
1 comment:
Kalau gereja di daerah ya Pak, persoalannya dari mana memulainya? Pertanyaan ini juga yang membuat banyak gereja enggan untuk megambil pelayanan literature ini.
Post a Comment