Oleh: Anwar Holid, editor Penerbit Jalasutra, eksponen komunitas TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.
“Universitas sejati saat kini ialah koleksi buku.” ---Thomas Carlyle (1795 - 1881)
ERNEST HEMINGWAY pernah menasihati: tulislah yang engkau ketahui, tapi Arthur Phillips menantang: bagaimana bila penulis tak tahu apa-apa? Jangan khawatir, jawabnya, pergi saja ke Perpustakaan British Museum. Di sana penulis akan diberi tahu segala yang tidak diketahuinya, dan kemudian dia bisa mencoba menuliskannya sebaik mungkin. Juga akan dijawab segala pertanyaan, tak peduli berapa banyak, betapa konyol dan salah, biarpun kotor dan tak masuk akal.
BAYANGKAN ada 22 orang dari berbagai disiplin ilmu masing-masing punya sekitar 15.000 buku. Total menumpuk 330.000 judul. Tapi bagaimana agar orang lain bisa manfaatkan pustaka sekaya itu bila semuanya belum didata - dikatalog, dan tidak terkumpul melainkan 'tercerai berai' di berbagai tempat, kadang-kadang disimpan dalam peti, bahkan satu-dua di antaranya rusak. Buku itu baru bisa diakses oleh orang-orang dekat pemiliknya saja, yang tidak jarang pemiliknya lupa. Idealnya dibangun perpustakaan yang layak untuk simpan dan kelola buku sebanyak itu, dengan aksesibilitas seluas mungkin, dikelola dengan manajemen bagus. Buku baru bermanfaat bila dibaca, dipahami, ditafsir, dianalisis dan dikritik isinya.
Perpustakaan baru bisa dikatakan 'hidup' bila pengunjung makin terikat oleh keberadaannya, makin kerap berkunjung, makin sering meminjam koleksinya. Bahkan tak jarang seorang penulis/peneliti sampai rela tinggal di perpustakaan demi tulisannya. Jean-Paul Sartre atau Jorge Luis Borges adalah contoh terbaik. Di perpus itu mereka menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan membaca, menafsir, menulis, membentuk dunia ideal, dan pada akhirnya dicoba diejawantahkan. Mereka bersentuhan dengan teks dan buku setiap saat, membaui huruf, kertas, debu, udara, ruang, tinta, cover, isi buku, mencoba mencerap isinya. Memang pembaca tidak selamanya mampu menuliskan yang pernah mereka baca---sebab menulis adalah fakultas lain lagi dari seorang manusia---tapi setidaknya membaca bisa diharapkan mampu menumbuhkan syaraf ekspresi manusia, yang bisa diungkapkan dengan cara terbaik sesuai bakat, kecenderungan, latihan, dan juga disiplin.
Perpustakaan bisa berinisiatif mengadakan temu rutin, tawarkan sesuatu yang bisa menarik, inisiasi klub buku, adakan workshop menulis, bekerja sama dengan toko buku, penerbit, atau lembaga lain untuk memberi layanan maksimal. Di perpustakaan seperti itu pengunjung/anggota bisa baca dengan tenang, menulis secara ekstensif, mencari rujukan, dengar musik, nonton film. Mereka membentuk komunitas, memberi denyut kehidupan, napas budaya. Orang rela lakukan apa pun demi mendapatkan buku yang betul-betul ingin mereka baca, ingin dikuras isinya. Penulis butuh buku yang betul-betul mampu menginspirasi, menggerakkan syarafnya untuk mulai menulis.
Sebuah perpustakaan---apalagi bila bagus---layak dipilih sebagai sahabat penulis. Jadikan perpustakaan sebagai tempat nyaman untuk mengisi pengetahuan dan memenuhi kehausan ilmu; pusat orang berinteraksi, dan mencoba beri makna pada kehidupan. [talkshow 'Menggali Potensi Menulis Melalui Minat Baca', UPT Perpustakaan STT Telkom, 15 Des 2004].