Monday, October 29, 2007

Wordsmart

Howard Gardner, penemu teori Multiple Intelligences merumuskan wordsmart, cerdas kata sebagai “Kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif, baik lisan maupun tertulis” Menurut Tony Buzan, penemu metode Mind Mapping, orang-orang yang mau meningkatkan wordsmart akan dapat memanfaatkan potensi tersebut untuk
(1) menemukan dan menjelajahi dunia baru,
(2) menggairahkan imajinasi untuk memunculkan konsep dan ide-ide baru, (3) memaksimalkan kerja otak,
(4) memahami kerja tubuh untuk mengefektifkan komunikasi,
(5) merasakan nikmat dan lezatnya bermain-main kata dan makna,
(6) memahami sesuatu dengan lebih tajam dan mendalam,
(7) memelajari cara memengaruhi orang lain.
[dari sebuah brosur yang kutemukan di pinggir jalan, &]

Friday, October 26, 2007

Kekuatan Media Cetak

MENULIS DENGAN CINTA,
Oleh: Xavier Quentin Pranata

Napoleon Bonaparte berkata: "Senjata api dan pena adalah kekuatan-kekuatan yang paling dahsyat di dunia. Tetapi, kekuatan pena akan bertahan lebih lama." Martin Luther mengucapkan: "Selain keselamatan dari Tuhan Yesus, maka anugerah terbesar dari Tuhan yang lain adalah Mesin Cetak."


Perkataan Luther terbukti. Setelah mesin cetak berhasil dibuat, di Amerika terjadi panen jiwa yang luar biasa. Puluhan juta jiwa dibaptis. Di antara mereka yang dibaptis, 85% mengatakan bahwa mereka datang kepada Kristus karena bacaan rohani dalam bentuk traktat, buku, dan majalah. Pdt. Oswald Smith, gembala sidang People Church di Toronto, mengatakan, "Saya sudah berkeliling dunia ke 70 negara sambil mencari cara, manakah yang paling efektif untuk penginjilan se dunia. Dan sampai detik ini, yang bisa saya dapatkan adalah melalui MEDIA CETAK."


George Verwer, menyebutkan bahwa literatur Kristen yang juga sering disebut "Utusan Injil Tercetak", paling tidak memunyai 10 kekuatan:

(1) Ia dapat pergi ke mana-mana tanpa dilihat sebagai orang asing.

(2) Lewat pos, ia dapat masuk sampai ke tempat-tempat, di mana seorang penginjil tidak diizinkan masuk.

(3) Ia menyampaikan beritanya dengan rajin tanpa mengenal batas waktu, istirahat atau cuti.

(4) Ia mempersembahkan beritanya sesuai dengan kecepatan berpikir seseorang dan menurut kesenangan pembacanya.

(5) Ia memungkinkan si pembaca mendalami berita yang sama berulang-ulang.

(6) Ia adalah pengkhotbah estafet yang menyampaikan beritanya dari satu orang ke orang lain.

(7) Ia memungkinkan si pembaca mempelajari satu bagian khusus dari berita yang menarik hatinya.

(8) Dalam bentuk buku, ia dapat memberi makanan rohani kepada mereka yang lapar berjam-jam, bahkan berhari-hari seperti pengkhotbah bersambung yang tidak berkeputusan.

(9) Pada umumnya tidak mahal, tetapi juga tidak kalah baik buahnya dibandingkan dengan cara penginjilan lainnya.

(10) Dalam waktu satu jam, ia dapat dibagikan kepada lebih banyak orang daripada jumlah rata-rata pengunjung setiap Minggu pagi.


Ternyata, Verwer pun bertobat dan mengenal Yesus sebagai Juruselamat karena pelayanan literatur pula. Pimpinan badan misi yang memiliki kapal Logos 11 dan Doulos ini menulis: "Th. 1957, saya menerima Kitab Injil Yohanes melalui pos yang dikirimkan oleh seorang ibu Kristen yang baik hati dan yang percaya bahwa Allah menjawab doa dan yang juga percaya akan kuasa Injil dalam bentuk barang cetakan. Selama dua tahun saya membaca buku kecil itu dengan teratur sehingga akhirnya saya 'dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal' (1 Pet 1:23).


Billy Graham dalam bukunya "Just As I Am", menulis: "Liputan media mengenai kami, beberapa tahun pertama, tahun lima puluhan tak pelak lagi merupakan penentu yang membawa pekerjaan kami kepada masyarakat. Jika media bisa digunakan untuk mempromosikan pelayanan penginjilan, apakah media juga bisa langsung digunakan untuk penginjilan? Mula-mula kami berfokus pada radio dan film, namun begitu programnya usai, pengaruhnya sebagian besar berakhir pula. Kemudian kami mengalihkan perhatian pada halaman cetak. Buku dan majalah bisa mencapai tempat-tempat yang tidak bisa dicapai khotbah, dan bisa secara berkesinambungan memengaruhi, lama setelah si penulis sudah tidak ada."

Trimurti: Dengan Tulisan, Berjuang Untuk Kemerdekaan

[TEMPO, 10 Juni 2007]: Di usianya ke-95, Surastri Karma Trimurti hanya berbaring di atas ranjang kayu berwarna coklat. Hampir dua tahun ia menetap di kamar berukuran 2 X 3 meter persegi bercat putih di daerah Caman, Bekasi. Makan bubur dan minum dilayani seorang pembantu.


Trimurti sangat lemah. Ia tidak mampu mengangkat kepalanya dari bantal, juga sulit membuka kedua matanya. Yang lebih menyedihkan, kedua tangannya diikat di sisi tempat tidur dalam posisi merenggang ke samping. “Itu karena ibu suka menggaruk, dan bila menggaruk, kulitnya yang telah tipis bisa berdarah,” kata Heru Baskoro (65), putra keduanya.


S.K. Trimurti adalah kolumnis yang dikenal hingga 1960-an. Namun sejak 1991, di usia 79 tahun, ia tak sanggup lagi menulis. Kini kumpulan tulisannya yang pernah dimuat di berbagai media massa sepanjang 1939-1991 telah dibukukan. Dari buku ini, kita sudah bisa membayangkan stamina dan kemampuan perempuan ini.


Ia mulai menulis di usia 21 tahun. Oleh Soekarno, ia diminta membantu Sanusi Pane mendirikan sekolah dan menulis di Fikiran Ra’jat. Ketika Soekarno dipenjarakan dan Fikiran Ra’jat ditutup, ia diperingatkan polisi pemerintahan jajahan: “… Nona masih anak-anak, lebih baik nona meneruskan sekolah saja, daripada dihasut Soekarno.”


Ia kembali ke Klaten. Di sana ia menjadi pembantu tetap untuk surat kabar Berdjoeang. Hijrah ke Solo, ia mendirikan majalah Bedug, majalah perjuangan, yang untuk memperluas pembacanya kemudian diganti nama dengan Terompet. Lalu di Yogya, ia memimpin majalah Marhaeni, dan ia pernah di penjara karena menyebarkan pamflet Marhaen. Setelah bebas, ia ke Semarang dan bergabung dengan harian Sinar Selatan dan Suluh Kita. Tulisannya sering dianggap membahayakan penjajah Belanda. Dan ia bolak balik keluar-masuk penjara saat penjajahan Jepang, namun ia tidak kapok berjuang lewat tulisannya. “Saya bisa membuat tulisan dalam sepuluh menit,” kata Trimurti waktu itu. “Saya termasuk penulis cepat.”


Kini wanita perkasa itu berbaring lemah. Tapi ingatannya terlihat selalu berdenyut aktif. Ia tiba-tiba sering melantunkan lagu berbahasa Belanda atau Jawa. Kadang ia mengingau seolah-olah tengah berdialog dengan Soekarno, seolah-olah pemimpin bangsa itu di depannya.


BERITA TERKINI:

[KOMPAS, 10 Sept, 2007]: Trimurti kini dirawat di RS PGI Cikini, Jakarta. Mantan mentri perburuhan ini tenggelam dalam dunianya yang sunyi, entah di mana. Sesekali ia kembali dan menggumamkan tembang, ilir ilir lir ilir….

Hannah Arendt, Filsuf Yang Juga Reporter

Ketika Adolf Eichmann ditangkap di Argentina oleh agen rahasia Mossad, Israel dan diajukan ke pengadilan di Yerusalem pada 1961, Hannah Arendt melihat sebuah kesempatan langka. Ia pun menyediakan diri sebagai reporter majalah The New Yorker yang akan meliput persidangan itu. Ketika ditanya, mengapa ia, seorang penulis dan pengajar filsafat politik bersedia melaksanakan tugas reportase, Arendt menjawab: karena pengadilan ini memberi kesempatan baginya untuk berjumpa dalam “tubuh dan darah” salah satu penjahat Nazi yang paling dicela. Arendt ingin mengetahui, seandainya bisa, kesalahan individual Eichmann dan mengapa dia melakukan apa yang dia lakukan.


Sebelum pengadilan Eichmann, para penjahat perang Nazi telah diajukan ke muka sidang di Nuremberg (1945-49). Mereka yang datang ke pengadilan untuk melihat monster yang kejam, kecewa. Sebab para terdakwa ternyata adalah para ayah yang baik bagi anak dan istri, penyayang binatang, tidak angkuh –namun melakukan kejahatan yang tak terkatakan.


Arendt menulis, seperti tersangka sebelumnya, Eichmann pun tidak pernah berniat berbuat jahat. Menurut pengakuannya, ia sekadar melaksanakan tugas sebagai kepala urusan transportasi orang Yahudi ke kamp maut. Menurut Arendt, yang membuat Eichmann dapat melakukan kejahatan dalam skala yang demikian luas itu bukanlah sifat jahat, patologi, atau keyakinan ideologis tertentu, melainkan semata-mata ketidakmampuannya berpikir, tepatnya berpikir menurut sudut pandangan orang lain. Eichmann tidak punya imajinasi dan empati sehingga tak mampu membayangkan konsekuensi tindakannya bagi orang lain.


Hanya melaksanakan tugas, itulah pembelaan Eichmann. Ia bahkan membanggakan diri telah setia mengemban tugas hingga akhir, dan menyatakan diri bahwa “sepanjang hidupnya telah bertindak … sesuai dengan prinsip dan keyakinan oleh Kant.”


Kehadiran Arendt di ruang sidang tersebut menghadapkannya pada persoalan hukum yang pelik: sebenarnya siapa yang bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan rezim Nazi? Sejauh mana orang yang melakukan kejahatan atas perintah negara dan pemimpin bertanggungjawab atas kesalahan yang ia buat? Dan kejahatan yang melibatkan sistem, bagaimana keadilan ditegakkan dan kebenaran diungkap?


Setelah Hitler bunuh diri dan rezim Nazi kalah, banyak orang Jerman berseru: “Kita semua bersalah.” Orang-orang ini merasa bersalah, padahal mereka saat itu tidak ikut ambil bagian. Bagi Arendt, apa yang terdengar sebagai ungkapan kesalehan dan keluhuran hati itu justru berakibat fatal. “Ketika semua orang bersalah, tak ada yang salah. Seruan itu justru membebaskan para penjahat – orang yang nyata-nyata berbuat – dari kesalahan mereka. Untuk meluruskan rasa bersalah yang tidak pada tempatnya ini, Kebersalahan (guilt) harus dibedakan dari tanggungjawab (responsibility).” [BASIS, Maret-April 2007: KEJAHATAN ATAS NAMA NEGARA, A Sumarwan]

Monday, October 22, 2007

Manfaat Menulis Puisi

Oleh: Njoo Mee Fang


1. Melatih kita berani mengekspresikan diri melalui kata-kata tanpa harus ada partner bicara secara langsung. Kadang kala buat kita-kita yang tidak fasih lidah, berlatih mengekspresikan diri menjadi sulit kalau harus langsung berhadapan dengan orang lain. Kalau latihan bicara sendiri di depan cermin, besar resiko dianggap SeGi (setengah gila). So pasti, kita ngga mau resiko ini khan.


2. Menuntun kita memasuki dunia seni yang menjanjikan keindahan yang melebihi logika dan kata. Kalaupun belum mencapai keindahan seni puisi minimalnya kita bisa masuk dalam petualangan rimba kata dan makna. Seperti pergi ke Louvre di Paris mencari Monalisa. Kalaupun belum berhasil menemukan Monalisa, maka kita sudah terpesona melihat keindahan berbagai lukisan bahkan dari interior ruangan. Menulis puisi dapat dinikmati seperti perjalanan yang tidak tergantung sepenuhnya pada tujuan akhir.


3. Memampukan kita ”saying one thing and meaning another thing”, dapat menyampaikan makna ganda yakni yang tersurat dan tersirat. Budaya Asia masih meminta kita berbudi bahasa dengan indah. Cukup sering martabat seseorang diukur dari kemampuannya berbahasa. Meski gelar S3 kalau tutur katanya seperti preman yang kasar serta merta berkuranglah penghargaan kita. Puisi dapat menyampaikan maksud kita dengan indah.


Dalam jaman Post-modern hampir tidak ada ketentuan standard tentang bentuk dan ritme Puisi. Jadi ini adalah kesempatan bagi siapa saja boleh menuangkan pikiran perasaan melalui tulisan puisi. Silahkan mencoba. Bon Voyage.

Ketika Tulisan Tak Layak Muat Dan Kalah Lomba

Oleh: Sidik Nugroho
(http://www.geocities.com/sidiknugroho.htm)


Aku dapat tidur di suatu hari dengan nyenyak bila telah menyelesaikan jadwal menulis yang kubuat untukku di hari itu." (Stephen King)


Saya kalah dalam sebuah lomba, baru-baru ini. Ya, lomba mengarang cerpen Femina. Namun, bukan hanya soal lomba itu. Yang saya alami selama empat tahun berkecimpung di dunia kepenulisan adalah kekalahan semata-mata. Tulisan saya amat jarang dimuat media cetak. Padahal saya sudah membaca buku sastra sebanyak mungkin: dari tentang menulis, novel, kumpulan cerpen, atau resensi buku. "Sebanyak mungkin" yang tadi saya tulis adalah dalam ukuran saya: 1 buku 1 minggu. Buku-buku yang saya baca kebanyakan berjumlah halaman lebih dari 200 halaman.


Saya sudah membaca sebanyak mungkin dan menulis sebanyak mungkin, tapi selalu saja: ditolak. Bukan hanya ditolak, saya pernah juga di-sms-i dengan gelegar amukan oleh salah satu redaktur koran terkemuka karena terburu-buru menanyakan cerpen saya layak muat atau tidak.


Apa yang saya alami mungkin juga dialami oleh penulis lain. Karya kita tak kunjung dimuat dan kita tak sabar menunggu hasil. Kita kerap melihat-lihat koran di kios terdekat dengan rumah tanpa membelinya, juga tanpa memerhatikan halaman muka namun langsung menuju ke ruang di mana kemungkinan tulisan kita akan dimuat. Bagaimana hidup seorang pengarang yang terus berkarya, rajin membaca, namun selalu menghasilkan karya yang hanya pantas menuju ke tong sampah dalam kantor redaksi atau "trash" dalam mailbox e-mail redaksi?


Ada orang yang mungkin akan mengurangi intensitas menulisnya ketika mengalami hal ini. Orang-orang ini dalam pembenaran anggapannya mulai berangan-angan memiliki karya serupa Harper Lee yang buku sematawayangnya memenangkan Pulitzer. Mereka mungkin akan berpikir: kalau bisa aku akan menulis 1 buku atau karya saja seumur hidupku, sesuatu yang benar-benar hebat, sebagai pembuktian bahwa aku penulis hebat, dan kemudian aku baru mati. Dengan cara demikian mereka berharap akan dikenang sebagai pengubah sejarah.


Tapi saya lebih memilih bersikap lain. Saya menulis bukan karena ingin diaku sebagai penulis hebat pada nantinya. Saya menulis karena saya mencintai menulis. Oleh karena itu tak masalah bagi saya bila karya-karya saya dimuat majalah yang menurut orang amat kacangan: Sahabat Pena, misalnya. Bila dibandingkan dengan Kompas atau Koran Tempo mungkin 1:100 bobot sastranya. (Kau hendak mengubah sejarah lewat cerpenmu di Sahabat Pena? Yang benar saja, gundul!).


Diaku sebagai penulis hebat atau tidak adalah anggapan orang. Bahkan karya kita yang dilemparkan ke keranjang sampah oleh redaktur bisa dianggap amat hebat oleh orang lain, setidaknya pacar kita. Inilah yang pada akhirnya menjadi batu uji bagi para penulis. Masihkah kita akan menulis ketika orang tak membaca karya kita? Dan masihkah kita mau belajar lewat membaca dan menumbuhkan kepekaan agar tulisan kita menjadi lebih baik? Dan bila kita itu dilepas sendirian, masihkah kita akan berkarya?


Karya-karya Kafka diterbitkan anumerta, begitu juga sebagian karya Tolkien. Tolkien sendiri merilis buku yang ia karang sendiri, The Hobbit saat ia berusia 45 tahun. Ia menulis keseluruhan trilogi "The Lord of the Rings" (LotR) selama kurang lebih tiga belas tahun (yang baru diterbitkan tahun 1954). Tolkien bahkan pernah mengaku kalau dirinya bukan penulis hebat. Inilah karya-karya yang digarap dengan cinta kepada aksara. Inilah yang membuatnya mempelajari bahasa Anglo-Saxon kuno yang kemudian dimodifikasinya sendiri sebagai bahasa peri dalam LotR.


Poin yang saya ingin tegaskan adalah kecintaan Tolkien pada bahasa. Itulah yang membuatnya mengarang setiap karya-karyanya dengan sesempurna mungkin. (Saya tidak tahu apakah dia lebih gila dalam soal kesempurnaan dibandingkan Tolstoy yang mengedit "Anna Karenina" sebanyak lebih dari 120 kali sebelum naik ke penerbitan.) Tanpa bermaksud menjadi naif, saya rasa bila rasa cinta itu sudah ada, rasanya kok mau kalah lomba, ditolak redaksi, tak terlalu masalah. Yang penting (belajar dan) menulis, kalah (atau tak dimuat) ya tidak apa-apa!

Serba-serbi Elyon

Bagi yang sangat amat asing dengan apaan sih Elyon itu? Elyon? Batalion? Medalion? Udah deh pokoknya klik disini aza: http://www.elyonews.org Nah kalau udah ngeh baru terusin bacanya.


Elyonews Telah 8 Tahun, Masuk Tahun Ke 9!

Selamat untuk seluruh warga Elyon karena medianya telah 8 tahun hidup! Selamat kepada para redaksinya yang berulang kali ganti generasi tapi tetap memertahankan semangat penerbitan laporan berita dan penulisan opini. Selamat kepada para pembacanya yang terus menyemangati media Ens itu. Selamat kepada para penulis dan kolumnis Ens yang memberikan naskah demi naskah tanpa kenal lelah.

Cerita 1

Kalau tidak ada sanggahan, maka Juli 1988 adalah sejarah pertamakali terbitnya media pertama di Elyon: ELTRON THE WALL MAGAZINE, dan disusul dengan Buletin GABRIEL bulan depannya. Lalu pada Nopember 1999, sebelas tahun kemudian terbit Elyonews. Perhatikan dua angka pada tahun-tahun itu adalah kembar. Maka menurut lubuatan, 1999 + 11 adalah th. 2010 atau 2111 akan terbit media Elyon yang cukup revolusioner. Jadi waktunya 3 atau 4 tahun lagi. Siapa yang akan mengingat lamaran ini?

Cerita 2

Melanjutkan CERITA 1, maka kalau sok-sokan mau diadakan peringatan atau perayaan sejarah media di Elyon, maka tahun depan adalah Dirgahayu 20 Tahun Sejarah Media Di Elyon. Siapa mau peduli, silakan urus sendiri! (Maksood lhoeh?!).


Opini

Tentang Tan Malaka: Harta yang ditinggalkan hanya sepasang kemeja, topi, celana, tongkat, pensil, dan buku tulis –benda yang menjadi andalan baginya untuk menulis sejarah. Tan Malaka membuktikan harta terbesar sebuah bangsa adalah kekayaan jiwa pemikiran yang disajikan lewat guratan pena. [KOMPAS, 13 Agt 2007: Harry A Poeze: Tan Malaka: Verguisd en Vergeten, 2007].


Angka

- Judul buku yang dicetak pertahun di Indonesia: 4.800, Malaysia: 7.000, Thailand: 8.000, Jepang: 10.000, Korea Selatan: 43.000, Amerika Serikat: 50.000.

- [Th. 2003] Belanja Rokok penduduk Indonesia Rp. 150 trilyun, pada tahun yang sama belanja untuk Surat Kabar Rp. 4,9 trilyun; atau hanya 0.03 persennya.

Tuesday, October 16, 2007

Vancouver International Writers and Readers Festival

Kayaknya tidak begitu banyak penulis top Canada yang dikenal terutama di dunia fiksi. Maka tepat pula kota Vancouver mengadakan festival penulis Internasional dan pembaca. Yang diadakan dari tanggal 16 sampai dengan 21 Oktober 2007. Dan tahun ini merupakan tahun yang ke 20 bagi Vancouver mengadakan acara tahunan ini. Acara ini selain bertujuan untuk saling bertukar pengalaman dari para penulis di mancanegara. Juga untuk menggairahkan memunculkan penulis-penulis baru berkualitas internasional dan menggalakkan pembacaan buku fiksi atau pun non-fiksi.

Tidak banyak penulis dari Canada yang kukenal, mungkin seperti Alice Munro (cerpenis), Margaret Atwood (penulis novel, cerpen, puisi, anak-anak), Jane Urquhart (novelis), Alistair Macleod (novelis), Douglas Coupland (novelis); dan banyak dari kita yang dari Indonesia mengenal penulis Internasional satu ini yakni Michael Ondaatje, meski beliau tidak lahir di Canada tetapi telah menetap di Canada.

Dan penulis top yang paling anyar menetap di Canada adalah Yann Martel dengan novelnya yang secara gerilya memenangkan banyak penghargaan "Life of Pi". Panitya festival bekerja sama dengan penerbit Canada, Random House akan menghadirkan Yann Martel di Vancouver pada bulan Desember 2007.

Menumbuhkan seorang penulis yang berkualitas tidaklah mudah. Bukan hanya diperlukan bakat, fasilitas tetapi juga usaha kepelatihan kepenulisan, kecerdasan, kesabaran dan tahan banting. Salah satu produk lokal Jen Sookfong Lee lulusan Universitas British Columbia jurusan kepenulisan kreatif menerbitkan sebuah novel pertamanya setelah 20 tahun bergelut dengan dunia tulis menulis. The End of East, judul dari novel pertama Lee mendapat banyak pujian dari pengulas buku dari berbagai surat kabar Canada.

Monday, October 15, 2007

Menumbuhkan Seorang Pembaca

Tanggal 3 Oktober yang lalu perusahaan surat kabar dimana aku bekerja mengadakan acara “Menumbuhkan Seorang Pembaca” (MSP) yakni penjualan surat kabar untuk satu hari itu akan disumbangkan 100% untuk pembelian literatur yang diatur oleh perpustakaan-perpustakaan sekolah umum (dibawah departemen pendidikan pemerintah) yang memerlukan.

Program ini dimulai sejak tahun 1997 di Vancouver, dan pada tahun 2001 sekitar 100 perusahaan ikut menyumbang akan acara ini. Dan pada tahun 2005, MSP telah menjadi acara tahunan bagi semua propinsi di seluruh Canada.


Acara ini diadakan karena adanya keprihatinan dari pada pakar pendidik dimana diketahui bahwa dari seluruh penduduk Canada yang berjumlah kira-kira 31 juta orang diperkirakan 22% orang dewasa dari jumlah tersebut adalah buta huruf!


Maka pakar pendidikan bekerja sama dengan media surat kabar untuk mengadakan program ini untuk memperkecil jumlah buta huruf yang ada di Canada melalui penyediakan fasilitas buku-buku bacaan kepada para murid (khususnya) bagi sekolah-sekolah dasar.


Dari sekolah dasar diharapkan sejak sedini mungkin para murid dapat dibiasakan mempunyai kebiasaan untuk membaca. Karena kebiasaan membaca merupakan bekal rentetan investasi yang berharga untuk masa depan.


Karena dengan membaca kita dapat mempunyai pengetahuan, membaca membantu kita mengerti ekspresi emosi, bersosialisasi, eksplorasi dunia, mengasah imajinasi, mendulang ketertarikan baru (yang sebelumnya mungkin kita tidak pernah tahu) dan yang pasti melatih kinerja otak kita dengan aktif (beda dengan kinerja otak manusia ketika hanya menonton teve - pasif). Dan mungkin masih banyak gunanya yang lain.


Maka hobi membaca, mempunyai kebiasaan membaca, (dari membaca akan mengakibatkan ekspresi menulis, akting, ide-ide yang luar biasa) adalah bukanlah yang buruk; kebiasaan yang baik. Tidak ada salahnya mempunyai kebiasaan membaca. Dengan membaca seorang anak waktu dewasa dia akan dapat dengan mudah melamar pekerjaan yang dibacanya di surat kabar atau internet. Dia akan mengendarai mobil dengan mudah karena dia tahu tanda lalu lintas dengan membaca. Mudah membaca peta. Maka ada pepatah semakin banyaknya penduduk yang dapat membaca, dapat dikatakan semakin maju negara tersebut. Kita perlu berdoa dan berjuang untuk memberantas buta huruf di negara Indonesia, khususnya dengan letak geografis pulau-pulau yang sporadis akan lebih menyulitkan mengajak banyak anak-anak untuk memulai kebiasaan membaca.


Semua pihak harus mempunyai tekad yang sama untuk mencerdaskan bangsa, diharapkan dengan bangsa yang cerdas, rakyat akan menjadi makmur dan sentosa. MSP Canada hingga saat ini yang baru berjalan 10 tahun dikerjakan dengan semangat gotong royong, dari para konglomerat, politikus, olahragawan, artis , aktris aktor, penyanyi kondang internasional sampai loper koran menyempatkan diri ‘menjual’ surat kabar tanpa bayaran.


Penyanyi kondang Canada, Michael Buble juga sempat menyumbang 30% dari hasil konsernya di Canada untuk MSP. Microsoft Canada juga ambil bagian. Diperkirakan untuk hasil penjualan plus sumbangan MSP akan mencapai $2,7 juta dolar Canada tahun 2007 ini. Nggak nyangka kan ya, kalau kita kira negara maju kayak Canada (yang kita kira sudah pasti buta huruf itu bukan jamannya lagi tapi nyatanya masih banyak) yang hampir dari semua segi kehidupan telah teratur dengan rapi dan baik, namanya buta huruf itu masih ada.


Kalau teringat Tanah Air, wahhh……… Dapat dibayangkan berapa juta penduduk yang masih buta huruf. Belum lagi masalah dana, dan penyaluran dana, korupsi, dan komplikasi masalah lainnya. Menyedihkan??? Tidak. Itu realita koq. Realita yang sulit diubah. Kalau dengan kekuatan manusia itu mustahil. Bagaimana dari para penulis, pembaca, cendekiawan dan orang-orang yang sadar akan pentingnya membaca (kelompok minoritas) akan merealisasikan program kerja yang super ajubilah itu? @&^%#<&*(!|&>