Tuesday, July 31, 2007

Apa Pentingnya Bahasa?

Oleh: Sirikit Syah, Waka Stikosa-AWS, Surabaya Post, 11 Des 2004: “Haus Buku, Minat Baca, Syaraf Menulis”.

Seseorang ditembak mati karena penggunaan bahasa. Seorang menteri Israel berpidato, bahwa "Bangsa Arab itu adalah two-legged beasts. Bahkan melihat caranya beranak pinak, mereka sama dengan lice." Tak berapa lama kemudian, dia ditembak mati oleh gerilyawan Palestina. Tak terhitung perang antar suku, antar bangsa, kerusuhan di kota besar yang plural, disebabkan oleh penggunaan bahasa. Hate speech. Pernyataan kebencian.


Filsuf China Kong Hu Cu (Confusius, 1551-479 SM), ketika ditanya "Apa yang pertama kali dilakukan, seandainya terpilih menjadi pemimpin negara?", menjawab, "Tentu saja meluruskan bahasa." Jawaban ini mengejutkan. Lalu dia menjabarkan: "Jika bahasa tidak lurus, apa yang dikatakan bukanlah apa yang dimaksudkan. Jika yang dikatakan bukan yang dimaksudkan, apa yang seharusnya diperbuat tidak diperbuat. Jika tidak diperbuat, moral dan seni merosot. Jika moral dan seni merosot, keadilan akan tidak jelas arahnya. Jika keadilan tidak jelas arahnya, rakyat hanya berdiri dalam kebingungan yang tak tertolong. Maka, tak boleh ada kesewenang-wenangan dengan apa yang dikatan. Ini paling penting di atas segala-galanya."


Sampai sekarang surat kabar prestisius The Christian Science Monitor tak mau menggunakan kata "insurgent" untuk me-label gerilyawan Irak. Kata redakturnya, "Insurgent itu artinya pemberontak pada pemerintahan yang sah. Lha, di Irak ini, mana pemerintahannya yang sah?" Sementara itu, ketika terjadi serangan 9/11 2001, CNN dalam pemberitaannya menggunakan banner "America under Attack". Ketika menyerang Afghanistan, CNN menggunakan banner "War on Terrorism". Betapa tidak adilnya. Mengapa tidak "America Attacks Back", atau "Afghanistan under Attack too".


Noam Chomsky, linguist yang sangat kritis terhadap media barat, terus menerus mencatat penggunaan bahasa yang menyesatkan oleh media barat. Dia menandai bagaimana seorang anak pelempar batu di Palestina disebut "teroris" dan tentara Israel menggempur kamp pengungsian disebut "tindakan pencegahan".


Jake Lynch dan Annabel McGoldryck mengajarkan, penggunaan bahasa merupakan salah satu faktor penting pemicu konflik. Peace Journalism menganjurkan wartawan menghilangkan sterotipe (seperti contoh di atas tentang bangsa Arab), membuang label (Tomy Winata disebut pemulung), menghilangkan kata sifat, tidak menggunakan kata-kata konotatif atau bermakna ganda, tidak hiperbola, dan seterusnya. Media massa suka menulis adanya massacre (pembantaian) untuk sebuah pertempuran antar suku atau bahkan sekadar pembunuhan. Padahal yang dimaksud pembantaian hanya bila korban berjumlah banyak, dan para korban itu sedang tidak sadar akan diserang, dan tidak membawa senjata. Kalau para korban itu tengah berjaga-jaga dengan membawa senjata, itu bukan pembantaian, itu pertempuran.


Media massa juga suka menggunakan kata `sadis'. Misalnya, "Perempuan itu membunuh pemerkosanya dengan sadis.” Perempuan itu korban perkosaan dan dia membunuh karena membela diri. Tentu tidak sama dengan perbuatan yang dapat dikatagorikan `sadis', seperti membunuh karena merampok, mencuri, atau balas dendam, melakukan mutilasi pada tubuh korban dengan penuh kesadaran, menikmati proses pembunuhan, dan seterusnya.


Salah satu syarat utama menjadi wartawan seharusnya penguasaannya atas bahasa, bukan sekadar ketrampilannya melakukan wawancara. Masih sering kita baca: "Pencuri itu berhasil ditangkap polisi". Siapa yang berhasil? Kalau pencuri berhasil, dia tak akan ditangkap polisi, bukan? Pernah juga saya dengar di televisi: "Sistem lalu lintas yang baru ini dapat memperlancar kemacetan." Kemacetan kok diperlancar?

Pentingkah Keberadaan Komunitas Penulis?

Oleh: Marco

Jika menyimak proses kreatif para penulis besar, Anda bisa melihat seberapa besar peran komunitas yang pernah mereka ikuti. Komunitas di sini mengacu pada suatu wadah bagi mereka yang memiliki kesamaan minat dan gagasan spesifik. Maksudnya tentu untuk mengembangkan minat atau melakukan sesuatu yang lebih besar lagi. Misalnya, membuat majalah, buku antologi, atau mengadakan lokakarya penulisan untuk masyarakat di daerahnya, dan sebagainya.


Ada perbedaan antara komunitas dan organisasi. Komunitas biasanya lebih bergerak bebas dan tidak terlalu bersifat hierarkis. Kalaupun ada, pembedaan tersebut biasanya lebih pada pembagian tugas. Lagipula sebuah komunitas tidak perlu berbadan hukum.


Berbagai Jenis Komunitas Penulis

Dari sisi dinamika anggotanya, komunitas penulis (mencakup penulis fiksi maupun nonfiksi; puisi maupun prosa) mungkin bisa dibagi dua. Pertama, komunitas yang menekankan aspek mentoring. Dalam komunitas seperti ini, akan ada beberapa orang yang dianggap lebih senior atau berpengalaman dibandingkan anggota lainnya. Mereka yang mengikuti komunitas tersebut berharap akan memperoleh ilmu dari pengalaman penulis senior tersebut. Sebaliknya, anggota senior itu juga akan memperoleh tempat untuk membagikan ilmu termasuk idealismenya. Jenis komunitas yang kedua tidak menekankan pada mentoring seperti di atas. Alasannya, proses belajar dan mengajar dianggap dapat terjadi di antara anggotanya sendiri. Jadi, seorang penulis senior pun tidak akan merasa terbebani dengan tugas sebagai mentor. Sebaliknya, anggota lain juga bisa lebih bebas mengutarakan pandangan dan pendapatnya.


Kenapa Komunitas?

C.S. Lewis maupun J.R.R. Tolkien (penulis “The Lord of The Rings”) pernah berada dalam suatu komunitas bernama Inklinks. Mereka mengatakan bahwa komunitas mereka tersebut ibarat kawah candradimuka yang mematangkan mereka dalam berkarya. Dalam komunitas yang diikutinya, karya yang diperkenalkan Lewis (termasuk "The Chronicles of Narnia") justru beroleh kritik bahkan dibantai oleh rekan-rekan komunitasnya. Sedikit mirip dengan itu, semasa hidupnya, Jean Paul Sartre lebih sering menghabiskan waktunya di kafe untuk berdiskusi. Dengan demikian, pikirannya pun terasah sampai ia menuangkannya dalam berbagai tulisan.


Di negeri sendiri, tidak sedikit penulis yang telah meretas jalannya sendiri di dunia penulisan tanah air. Mereka berangkat dari komunitas-komunitas yang pernah dan masih ada. Komunitas-komunitas tersebut di antaranya Bunga Matahari, Komunitas Bambu, Komunitas Merapi, Akademi Kebudayaan Yogyakarta, Kesasar, atau yang berbasis internet semisal Forum Lingkar Pena, Bumimanusia, dan lain lainnya.


Keberadaan komunitas juga akan membantu para penulis dalam menghadapi sejumlah persoalan yang masih banyak menghampiri penulis pemula. Misalnya saja masalah dana, karya yang masih belum berkembang, komunikasi dengan penerbit, bahkan sampai yang berkenaan dengan selera pembaca. Tak jarang melalui komunitas pulalah masalah seperti ini teratasi secara bersama-sama.

Tuesday, July 17, 2007

Ibu Harry Potter

Joanne Kathleen Rowling atau lebih dikenal sebagai J.K. Rowling dilahirkan pada 31 Juli 1965 di Chipping Sodbury, dekat Bristol, Inggris. Sebagai seorang ibu tunggal yang tinggal di Edinburgh, Skotlandia, Rowling menjadi sorotan kesusasteraan internasional pada tahun 1999 saat tiga seri pertama novel remaja Harry Potter mengambil alih tiga tempat teratas dalam daftar New York Times best-seller setelah memperoleh kemenangan yang sama di Britania Raya. Rezeki Rowling semakin bertambah saat seri ke-4, Harry Potter dan Piala Api diterbitkan pada bulan Juli tahun 2000. Seri ini menjadi buku paling laris penjualannya dalam sejarah.

Perintis Harry Potter

Sebagai seorang lulusan Universitas Exeter 1987 dalam bidang bahasa Perancis dan Literatur Klasik, Rowling berpindah ke Portugal pada tahun 1990 untuk mengajar Bahasa Inggris. Di sana dia berjumpa dan menikah dengan seorang wartawan Portugis. Anak perempuan mereka,, Jessica dilahirkan pada tahun 1993. Selepas perkawinannya berakhir dengan perceraian, Rowling berpindah ke Edinburgh bersama-sama dengan anaknya tinggal berdekatan dengan rumah adik perempuan Rowling, Di. Rowling menghadapi masalah keuangan untuk menghidupi diri dan anaknya. Semasa hidup dalam kesusahan itu, Rowling mulai menulis sebuah buku. Dikatakan Rowling mendapat ide tentang penulisan buku itu sewaktu dalam perjalanan naik kereta api dari Manchester ke London pada tahun 1990. Setelah beberapa kali ditolak, Rowling berhasil menjual buku itu, Harry Potter dan Batu Bertuah untuk jumlah sebanyak $4000.


Menjelang musim panas pada tahun 2000, tiga buku pertama Harry Potter: Harry Potter dan Batu Bertuah, Harry Potter dan Kamar Rahasia, dan Harry Potter dan Tawanan Azkaban telah menangguk keuntungan lebih kurang 480 juta dolar AS dalam masa tiga tahun dengan cetakan 35 juta naskah dalam 35 bahasa. Pada Juli 2000, Harry Potter dan Piala Api telah dicetak buat pertama kalinya sebanyak 5,3 juta naskah dengan pesanan tambahan sebanyak 1,8 juta naskah. Rowling, yang kini salah seorang wanita terkaya di Britania, merancang untuk mengarang tujuh buah buku bagi seri tersebut yang setiap satunya meriwayatkan tentang setiap tahun Harry Potter yaitu seorang bocah penyihir dan temannya berada di Sekolah Sihir Hogwarts. Buku kelimanya, Harry Potter dan Orde Phoenix, telah mulai dipasarkan pada 12 tengah malam 21 Juni 2003, serentak di seluruh dunia selepas lebih kurang 3 tahun buku keempat diterbitkan.


Buku keenam Harry Potter dan Pangeran Berdarah-Campuran juga telah diluncurkan secara resminya serentak seluruh pada 12.01 malam 16 Juli 2005. Untuk melancarkan buku itu, ia mengadakan keramaian istimewa di Edinburgh Castle. Ia melibatkan diri dalam beberapa salam jumpa dan meluangkan waktu dengan para pembaca anak-anak yang meminati bukunya. Sejauh ini, peluncuran buku keenamnya di seluruh dunia lebih mendapat perhatian dari peluncuran buku Harry Potter yang lain.

Keluarga

Penghujung Desember 2001, Rowling menikah dengan Dr. Neil Murray di rumah mereka di Skotlandia. Anak kedua dan anak lelaki pertama mereka, David Gordon Rowling Murray, dilahirkan pada 24 Maret 2003, di Royal Infirmary, Edinburgh. Untuk menjaga anaknya itu, Rowling mengatakan yang dia akan jarang muncul di depan orang banyak dan menandatangani buku kelima yang pada saat itu baru dilancarkan. Tak berapa lama selepas mengumumkan yang buku keenam seri Harry Potter telah sempurna dikarang, Rowling melahirkan anak perempuan pada 23 Januari 2005 dan dinamai Mackenzie Jean Rowling Murray.


Kini, J.K. Rowling telah menyelesaikan buku ketujuh dan yang terakhir dari seri tersebut. Ia mengatakan ia tidak akan menyambung lagi seri itu dan ia ingin mencoba mengarang suatu genre yang baru. Buku ketujuh Harry Potter and the Deathly Hallows akan diterbitkan pada 21 Juli 2007.

Thursday, July 12, 2007

Akibat Menulis

Oleh: Jennifer Matlack

Setelah menderita sindrom menstruasi lebih dari sepuluh tahun, Debra Van Wert, 44, dari Rochester, New York, mulai menulis gejalanya dalam buku catatan pribadinya. Tiga bulan kemudian, dia melihat sebuah pola, “Menulis menolong saya mengantispasi fase hormon dan mengidentifikasi minggu yang terbaik atau yang terburuk.” Kata Van Wert, dan dia dapat mengendalikan kondisinya.


Dan idenya adalah benar. Menurut pakar kedokteran yang menemukan bahwa menulis jurnal (buku) harian dapat mengurangi rasa sakit, menguruskan tubuh yang tambun, bahkan mengurangi stres. “Menulis dapat membuat kekebalan tubuh dan hormon untuk melawan stres, dan membuat hubungan dengan sesama menjadi lebih baik, serta mengatasi stres.” Demikian kata Joshua M. Smyth, seorang psikolog dari Universitas Syracuse. Dia menemukan bahwa menulis membuat kondisi menjadi lebih baik bagi beberapa pasien yang menderita rematik dan melancarkan pernafasan bagi penderita asma. Riset yang lain telah menemukan beberapa kegunaan dari menulis:


Menurunkan berat tubuh. Menuliskan secara detil makanan yang akan dimakan seseorang setiap hari (dalam jurnal makanan) menunjukkan menolong penurunan berat tubuh. Para periset dengan Women's Health Initiative menemukan bahwa jurnal makanan menciptakan mawas diri tentang konsumsi kalori dan banyaknya lemak. Dan ketika Anda tahu berapa banyak yang Anda makan, hal itu lebih mudah merubah kebiasaan makan Anda.


Tidur lebih nyenyak. Di Univeristas Temple, para wanita yang menulis tentang pengalamannya seperti diperkosa atau kecelakaan mobil yang serius akan mengalami lebih sedikit sakit kepala, masalah tidur dan gejala depres daripada wanita yang tidak pernah menulis.


Lebih sedikit penyakit. Pada tahun 2002 di Universitas Ben-Gurion, Israel, orang yang menulis tentang stres lebih sedikit mengunjungi klinik kesehatan dalam 15 bulan.


Mengurangi stres. Riset di Chicago Medical School, ketika para penderita kanker yang kurang dikunjungi oleh keluarga mereka, menulis tentang penderitaan mereka selama 20 menit sehari, laporan menunjukkan bahwa mereka mengalami stres yang lebih sedikit dalam enam bulan.

Thursday, July 5, 2007

My Name Is Mr. X

Siapa yang tidak kenal sosok ini? Banyak! He.. he… tapi pasti banyak yang lebih kenal dia daripada kenal kita yang rata-rata ini, tul nggak?! Lha wong beliau ini mantan Pemred majalah bulanan nasional: BAHANA, penulis buku, gembalai ribuan jemaat, seminar sana khotbah sini, diundang ke situ diajak ke sono. Tapi nampaknya yang paling penting bagi Xavier (X) ini adalah ia dikenal oleh Tuhan, ya tho?!

X yang berpasangan dengan F (Fransiska X Susana) ini, memunyai keturunan Y (Yosafat) dan beberapa anak angkat seperti: S (She Khang di Perth), M (Melinda di Melbourne) dan E (Elizabeth di Surabaya).


Lucunya, X yang tenar ini malah berkata: “Saya belum menyumbangkan apa-apa yang berarti. Saya bahkan belum bisa mencapai standar yang Watchman Nee (dalam NORMAL CHRISTIAN). Untuk menjadi orang Kristen normal saja kita harus berjuang keras karena harus melakukan seluruh perintah Allah. Yang tidak, berarti tidak normal. Jadi, bagi saya, yang penting saya lakukan apa yang Tuhan percayakan kepada saya. His Way dan His Time, bukan My Way dan My Time.”


Tapi X punya obsesi ini, “menulis 100 buku dengan judul 100 di depannya. Tetapi itu masih jauh, karena baru ada 7 buku saya dengan judul 100 di depannya. Karena terobsesi dengan angka 100 ini seorang wartawan koran di Jakarta menyebut saya dalam tulisannya, “Mr. 100 Kisah”, sedangkan seorang kepala editor penerbitan buku menyebut saya “King of Stories” ada-ada saja. Bagi saya sebutan itu jauh panggang dari api. Namun, untuk joke bolehlah sekaligus untuk cambuk bagi saya. Menanggapi guyonan seperti itu, biasanya saya balas, “Saya mau menulis buku 1000 kisah yang menguras kantong Anda. He, he, he, karena kalau 1000 kisah kan tebal dan harganya pasti mahal.”


Sementara itu, ia masih ingin menulis buku berjudul: “GOD’S MASTERPIECE: YOU! Karena itu saya meminta salah satu sobat kental saya Wawan untuk menulis buku itu atau nulis bareng saya. Bagi saya siapa pun yang menulis buku itu sama saja. Yang penting terwujud. Saya ingin setiap anak Tuhan tidak pernah minder karena kita adalah bangsa yang terpilih, imamat rajani, … tolong lanjutkan yang lebih lengkap.”


Pengagum temannya sendiri (Andreas Harefa, Paulus Winarto dan Benny Santoso) ini, menyeru: “Kita terbiasa dengan budaya lisan, sehingga budaya tulis itu masih Utopia Land. Itulah sebabnya saya senang ‘memprovokasi’ orang untuk menulis, apalagi hamba-hamba Tuhan. Jangan hanya jadi jago mimbar tetapi melempem di dunia tulis-menulis. Gereja harus sering-sering membuat pelatihan tulis-menulis. Bulan lalu gabungan 4 kampus mengundang saya untuk menyampaikan 1 sesi seminar bagaimana menulis buku. Geli, untuk menulis buku diperlukan lebih dari itu. Tetapi it’s oke. It is a good start! Ketika menjadi Pemred BAHANA, saya adakan pelatihan jurnalistik terus-menerus selama 3 tahun. Kini tidak ada lagi. Mungkin visi atau kesibukannya sudah lain.”


Tapi tentang saat-saat menulis, X menjerit “Sangat bergairah. Bahkan ketika dikejar deadline dan hormon Adrenalin saya meningkat pesat, saya bisa menulis seperti kereta Shinkanzen di Jepang dan TGV di Perancis. Di Sydney, pk. 1 dini hari, saya lupa ada deadline untuk kolom mingguan saya di sebuah tabloid. Saat diingatkan, saya langsung menuju meja komputer dan menulis serta mengirimkannya saat itu juga. Peristiwa kedua. Saya asyik belanja di Wal-Mart, dan saya di-sms kalau tulisan saya belum masuk. Saya segera menuju perpustakaan sebuah kampus, mencari hotspot dan mengirimkan tulisan dari sana.”


Wahai pembaca AEIOU, inilah pesan beliau yang harus kalian camkan! “Jika Anda sudah hobi membaca, Anda tinggal satu langkah lagi untuk hobi menulis. Belajarlah menulis dengan menulis! Kiranya damai sejahtera Tuhan Yesus Kristus yang melebihi akal itu akan memampukan Anda menjadi penulis!” (&) David Andreas

Menyunting Dan Menulis Ulang

Oleh: Dewitt H. Scott


Penulis yang baik harus selalu dan selalu menyunting tulisannya serta memperhatikan alur dan ritme tulisan mereka. Dan mereka juga harus mengetahui apa makna dari tiap kata yang mereka pakai.


Anda menyunting tulisan dengan tujuan untuk menyingkat, mempertajam, menyederhanakan dan menjelaskan, untuk meningkatkan urutan dan logika pikiran, dan untuk menguji semuanya dari sudut pandang seorang pembaca. Saat Anda mengedit, tanyakan pada diri sendiri pertanyaan berikut: Sudahkah saya…


- memakai kata kerja dalam kalimat aktif?


- menempatkan subyek saya di dekat kata kerja?


- memilih kata-kata yang benar-benar menerjemahkan maksud saya dengan tepat?


- menghindari kalimat yang panjang dan sulit dipahami?


- menghapus kata-kata yang tak perlu, terutama kalimat bercabang?


- menghindari perpindahan nada kalimat yang menyentak -- dari gaya percakapan ke khotbah, dari santai ke formal?


Satu trik untuk penyuntingan adalah dengan memikirkan kembali apa yang telah Anda tulis sehingga keesokan harinya Anda dapat 'merevisinya' dengan pikiran yang segar. Apa yang Anda banggakan hari ini mungkin akan memalukan Anda keesokan harinya. Samuel Johnson memahami trik tersebut. "Baca kembali tulisanmu," katanya, "dan ketika mendapati satu bagian yang menurutmu bagus, kembangkan bagian itu!"


Penulis Kurt Vonnegut juga mengatakan hal serupa: Miliki keberanian untuk menghapus. "Kefasihan bicara Anda harus dapat menjadi pelayan pikiran di kepala Anda," katanya. "Anda dapat memiliki patokan: Jika sebuah kalimat, tak peduli seberapa bagusnya, ternyata tak dapat menerangkan subyek Anda dengan cara yang baru dan bermanfaat, hapus saja!"


Saat Anda merasa bahwa Anda telah selesai melakukan proses penyuntingan, periksa kembali file tulisan itu ke mesin pengecek tata bahasa sekali lagi, meski Anda mungkin sudah pernah melakukannya. Jangan langsung mengabaikan semua anjuran yang muncul. Tetap perhatikan peringatan seperti "kalimat pasif" atau "kalimat panjang" sebagai kesempatan untuk melakukan penyuntingan secara kasar. Apakah ada alternatif cara lain untuk menuliskan topik Anda? Saat menyunting tulisan, ujilah semuanya dari sudut pandang pembaca, pastikan tak ada yang terlewat, periksa keakuratannya dan cobalah untuk mempersingkat, mempertajam, mengembangkan dan menyederhanakan tulisan tersebut.


Tanyakan pada diri Anda pertanyaan-pertanyaan berikut:


- Apakah susunannya sudah teratur? Apakah pembaca dapat mengetahui mana awal, pertengahan dan akhir tulisan saya? Apakah saya telah memberikan pembaca sebuah alur yang jelas dan mudah dimengerti?


- Apakah semua sudah terdengar logis?


- Apakah sudah jelas? Apakah tulisan saya sudah tidak lagi terlalu abstrak atau lebih membumi?


- Bagaimana nada kalimat saya? Dalam membuat percakapan, apakah saya terlalu 'cerewet' atau terlalu 'basa-basi'? terlalu resmi? kasar? terlalu lembut?


- Apakah usaha saya untuk menyisipkan humor berhasil? Jika Anda sendiri masih ragu, lupakan saja! Humor yang gagal akan menghasilkan kegagalan.


Demikianlah. Kerja keras Anda telah selesai. Namun masih ada satu langkah lagi. Perlihatkan tulisan Anda pada beberapa orang yang Anda hormati dan lihat seperti apa Anda kelihatannya. Selanjutnya tulis kembali.