Thursday, April 19, 2007

Percaya atau Tidak

- Ketahui siapa yang tertarik dengan tulisan Anda. Siapa yang akan membaca tulisan Anda? Pertimbangkan keinginan, ide dan respon mereka.

- Jangan pernah menulis sepertinya Anda tahu banyak sekali dan pembaca Anda tidak tahu apa-apa.

- Gunakan bahasa yang sesuai dengan pembaca yang hendak Anda tuju. Jangan menulis dengan berputar-putar ketika hanya dengan kalimat yang sederhana, pembaca telah mengerti.

- Jadilah seorang pembaca.

- Belajar menulis yang terbaik adalah dengan menulis.

- Penulisan ulang, penyuntingan dan perbaikan adalah dasar dari tulisan yang baik.

- Mulai dengan tulisan kecil-kecilan. Jangan meninggalkan pekerjaan utama Anda – kecuali Anda sudah mendapatkan komisi dari menulis yang cukup untuk hidup.

- Daur ulang. Gunakan ulang riset Anda untuk tulisan Anda lainnya. Jangan pernah membuang apa saja.

- Ketika melakukan riset, gali dengan lebih dalam dari pada orang lain yang melakukannya, dan Anda akan menemukan informasi untuk membuat tulisan yang lebih baik dari pada umumnya.

- Gambarkan karakter Anda dengan begitu detil. Tertawa dan menangislah bersama pembaca Anda. Tuliskan apa yang perlu dan yang tidak perlu.

- Gambarkan seting tulisan Anda sehingga pembaca juga merasa berada di tempat yang sama.
Jangan pernah berhenti dengan sebuah kesuksesan atau satu buku saja.

- Riset pasti akan sangat merepotkan Anda. Belajarlah rapi.

- Bersikap baik kepada penyunting, pewawancara, pengulas tulisan Anda, meski mereka mungkin akan besikap sangat negatif, tidak ramah atau sulit Anda temui.

- Berbicara kepada teman Anda, Yesus. Selalu.

Bukan Nasehat, Tapi Paling Tidak .....

Ini hanya masalah ketekunan – dan sedikit bakat. Pokoknya jangan menyerah. Maka permainan belum berakhir – (William Kennedy)


Penulis digerakkan oleh semangat; dan semangat yang kuat terutama diperoleh dari pengalaman dan kenangan kita sendiri – (Joyce Carol Oates, penulis Amerika)


Hanya dengan menulis, aku menjadi tuan bagi diriku sendiri – (Pramudya Ananta Toer, penulis Indonesia)


Yang menyebabkan kalimat pertama begitu sulit adalah karena kamu terpaku padanya. Semua yang lain akan mengalir dari kalimat itu – (Joan Didion, penulis Amerika)


Seorang manusia selamat dengan mengambil satu langkah. Kemudian langkah berikutnya – (Antoine de Saint, penulis Prancis, 1900-44)

Tanya Tanya

? Saya tidak suka format AEIOU dengan sistem lipat-melipat pat-gulipat balik-bolak, ngrepotin – (Danny the Donny, 54, pengusaha marmer).

! Gitu aja kok repot (MU)


? Mengapa Yesus tidak menulis buku atau biografiNya sendiri– (Bryan Bobby, 14, penggemar Harry Potter, Star Wars dan TLOTR).

! Tak perlu, khan sudah ada sekretarisNya, itu… para murid, rasul dan kamu. Numpang tanya, kamu udah nulis apa tentangNya (CR)


? AEIOU terlalu singkat -dibaca 5 menit aja selesai, terlalu ringan, terlalu norak guyonannya, terlalu simple disainnya, terlalu tidak ada gunanya, terlalu membosankan, terlalu sombong – (Ronald Andrianto, 22, Kuliah Manajemen).

! Terlalu? Terlalu (CR)

! Astaga, cerewet amat (MU)


? Tahun ini saya pensiun dari segala usaha. Saya ingin wariskan pemikiran saya ke dunia. Saya sadar hanya itulah warisan yang cukup berarti dan bertahan lama. Bisa anda beritahu, saya harus mulai dari mana – (James Choa Tirtosamudro, 69, eksportir).

! Mulai dari sekarang, mulai dari diri anda sendiri, mulai di sini. Cepat menulis, jangan tunda, kita tak tahu kapan semua ini akan berakhir (MU)


? Banyak sekali ide yang ingin saya tulis, tapi saya malas sekali menuliskannya, bagai mana ini – (Fitri Ratih Dewi Puji, 27, akunting perusahaan mebel).

! bagai pungguk merindukan bulan. Tak akan terjadi apa-apa (CR)


? Saya ingin meningkatkan kemampuan nulis, kayak kolom Catatan Akhir di Elyonews, gimana caranya – (Hani, 40, EDP, 081232808XX).

! Menulislah seolah ini adalah yang terakhir, akhiri dengan perasaan bahwa tulisan ini tak akan berakhir (David Andreas)


? Di Sorga nanti apakah masih ada kegiatan baca tulis? – (Alexander, 9, murid SM).

! Rasanya ada, lha wong di sana ada Kitab Kehidupan dan nama Allah akan tertulis di dahi kita semua. Lha buat apa ditulis kalau kita tidak bisa baca, dan siapa yang nulis, hayooo (CR)

Tuesday, April 10, 2007

New Kids on the Blogs

Widiarsi Agustina & Rinny Srihartini, TEMPO Februari 2007

Abdurahman Faiz tak kerepotan lagi jika teman-temannya ingin membaca puisi terbarunya. Mereka tak lagi harus memfotokopi atau mencetak ulang tulisan laki 11 tahun itu. Sebab sejak Juni 2005, hasil karya siswa V SD Al-Fikri, Depok, Jabar itu berpindah dari hard disk komputer pribadinya ke dunia maya http://masfaiz.multiply.com Ibunyalah, Helvy Tiana Rosa – penulis cerpen – yang membuatkan rumah di dunia virtual ini dengan nama “Taman Hati A. Faiz”. Di sana, Faiz menulis apa saja, dari cerita lucu soal “kentut strawberry” hingga penderitaannya dikhitan. Pun ketika adiknya, NadyaParamita, lahir pada awal Pebruari ini. “Selalu ada matahari bersamamu meski kau lahir dalam pelukan hujan.”


Dua tahun menjadi blogger, juara menulis “Surat kepada Presiden” pada 2003 ini merasa bakat menulisnya berkembang. Setiap puisinya dikirim ke ranah maya, saat itu juga respons tiba dengan cepat. Karya-karyanya mengalir deras, agaknya juga karena proses interaksi via internet itu. Bahkan beberapa di antaranya diterbitkan dalam bentuk buku. “Yang terpenting, tulisan-tulisan itu bisa dinikmati siapa saja,’ ujarnya.


Blogger belia lain adalah Saraswati. Pelajar kelas V SD Madania, Bogor ini bahkan punya 2 alamat, satunya adalah: http://saras-saraswati.blogspot.com. Mulanya ia menjadi blogger karena suka teledor menyimpan diarinya. Tulisan Saras ada macam-macam, dari catatan harian, resensi film, buku, bahkan opini. Ini opininya tentang poligami: “Yang kutahu, kasih sayang itu nggak bisa dibagi rata, nggak kayak roti yang ada timbangan kilogramnya.” Dari naskah blognya itu, ia berencana menerbitkan majalah.


Sedang Wisnu Aryo Setio (http://simplyiyo.com), 13, siswa SMPN 5 Bandung, menyebut blognya begini: “Ini bukan surga. Ini rumah tempatku bernaung. Memandang jauh melalui jendela ilmu…,” demikian tulisnya awal Januari lalu. Berkat blog-nya, Wimar Witoelar, komentator politik, pernah mewawancarainya.



Fenomena blog memang luar biasa. Sejak dipopulerkan tahun 1994, diperkirakan lahir 75 ribu weblog baru. Di Indonesia sendiri diperkirakan akan mencapai 100 ribu pada akhir tahun ini. “Blog dapat makin mendukung pengembangan proses belajar, metode interaksi, dan referensi yang dapat di akses murid,” kata Jalu Cahyanto dari Sampoerna Foundation.

Monday, April 9, 2007

Berawal Dari Petruk - Gareng dan Layar (pun) Terkembang

Hernadi Tanzil adalah nama yang belakangan ini akrab di kalangan pencinta buku, khususnya sastra (fiksi). Bukan, ia bukan penulis fiksi. Ia bahkan belum pernah satu kalipun menulis cerpen (cerita pendek). Tetapi ia seorang pelahap buku yang rakus. Nyaris segala rupa buku dikunyah, ditelan, kemudian "dimuntahkannya" kembali dalam bentuk resensi. Ya, pria bertubuh jangkung yang kerap disapa dengan Tanzil saja ini, adalah penulis resensi.

Tulisannya telah banyak mengisi kolom-kolom resensi buku di koran- koran dan majalah. Kepada PARLE, ayah dari Sherine Analicia (6) ini
berkenan membagi kisahnya.

Sejak di Sekolah Dasar, ia telah senang membaca. Sepanjang ingatannya, buku pertama yang dibacanya adalah komik Petruk & Gareng. Selanjutnya, ia juga membaca majalah Bobo, komik Mahabarata karya R.A.Kosasih, komik-komik karya Ganes Th, Lima Sekawan, Agatha
Christie, dan masih banyak lagi lainnya. Barulah ketika di SMP-SMA, ia berkenalan dengan karya-karya sastra klasik terbitan Balai Pustaka.

"Tapi, saya baru benar-benar serius membaca buku sastra yang
sesungguhnya saat saya mulai bergabung dengan beberapa milis
perbukuan", ujarnya, "Tepatnya pada tahun 2000, ketika saya untuk
pertama kalinya ikut milis Pasarbuku", tambah Tanzil sembari
mengingat-ingat.

Sejak itulah Tanzil lantas aktif menulis resensi. Mulanya, hanya
berupa komentar-komentar singkat tentang buku yang dibacanya.
Ternyata, tulisannya menarik perhatian redaksi majalah Djakarta!
Magazine. Ia lalu mendapat tawaran untuk mengisi rubrik resensi di
malajah tersebut. Buku pertama yang diresensinya yaitu Siddharta
(Herman Hesse).

Sejatinya, Tanzil telah senang menulis sejak SMP. Tak mengherankan jika ia mengaku bahwa pelajaran favoritnya adalah Bahasa Indonesia. Ada pengalaman paling berkesan bagi penggemar karya-karya Pramoedya Ananta Toer ini semasa SMP. Waktu itu, guru bahasa Indonesianya memberi tugas menulis rangkuman buku Layar Terkembang (Sutan Takdir
Alisyahbana). Dan ia mendapat nilai bagus disertai komentar "sangat memuaskan!" dari sang guru.

Kini, pemilik tubuh berbobot 78 kg dan tinggi 173 cm ini, telah
menjadikan pekerjaan menulis resensi sebagai sebuah "kewajiban".
Setidaknya, ia mengharuskan dirinya membuat satu resensi setiap
minggunya untuk diposting di blognya : (www.bukuygkubaca.blogspot.com) serta milis-milis yang diikutinya, antara lain : Pasarbuku dan Apresiasi Sastra. Cukup banyak juga
resensi yang sudah dibuatnya. Mendekati angka 100!

Selain imbalan materi, berkat ulasan-ulasannya, Tanzil juga sering
mendapat kiriman buku-buku gratis dari berbagi penerbit yang ingin
bukunya diresensi. Sudah pasti hal itu membuatnya senang. Namun,
saking banyaknya buku yang diterima, kadang-kadang ia jadi pusing
juga melihat tumpukan buku-buku tersebut. Sebab, kesibukannya sebagai
Kepala Bagian Akuntansi di sebuah pabrik kertas di Bandung, sering
menyita waktu membacanya. "Jujur saja, kalau sudah begini saya jadi
stres dan merasa nggak enak sama penerbit-penerbit itu.
Ha..ha..ha..", katanya sambil melepas tawa.

Sebagaimana para penulis umumnya, Tanzil pun diam-diam menyimpan
harapan dan keinginan satu hari nanti ia bisa punya buku hasil
karyanya sendiri. Entah itu berupa buku fiksi atau pun non fiksi.
Ciat-cita yang mulia. Sama mulia dengan niatnya untuk terus menekuni
urusan meresensi ini.

"Saya ingin membantu para calon pembeli/pembaca buku agar lebih
selektif dalam memilih buku yang akan dibelinya karena harga buku
sekarang kian mahal saja. Mudah-mudahan ulasan buku yang saya buat
bisa membantu mereka dalam menentukan pilihan"
Agaknya, itu lantaran Tanzil juga berangkat dari pengalaman yang
kurang lebih sama.

Ia suka sekali membaca tulisan-tulisan kritis Katrin Bandel dan Anwar
Holid. Ia mengaku belajar banyak dari karya-karya kedua pengamat
sastra itu. "Saya ingin dapat menulis sebaik mereka", kata pengagum
Karl May ini menutup kisahnya.

Profil singkat :

Nama lengkap : Hernadi Tanzil
Tgl lahir : 5 November 1970
Istri : Evy Triana
Anak : Sherine Analicia Tanzil
Pendidikan : S1 Akuntansi


Endah Sulwesi 19/2

PS. Blog Tanzil lainnya - http://akudanbuku.blogspot.com/

Tuesday, April 3, 2007

Sekilas Tentang Berita

Oleh: Paulus Winarto

Berita adalah laporan tentang suatu kejadian atau peristiwa. Untuk menjadi sebuah berita, sebuah peristiwa harus punyai nilai atau kriteria layak berita. Tiap media bisa jadi memiliki nilai berita yang berbeda, misalnya waktu, kedekatan, humor, rohani, aneh, sex, misteri, ekonomi, politis, konflik, akibat, penting, perubahan, menyentuh kemanusiaan, seni, dlsb.


Parakitri Simbolon dalam bukunya Vademekum Wartawan meringkas nilai berita dengan jembatan keledai CHoPPT:


C = consequences, besar-kecilnya dampak peristiwa terhadap masyarakat

H = human interest, menarik-tidaknya dari segi ragam cara hidup manusia

P = prominence, besar-kecilnya ketokohan orang dalam peristiwa

P = proximity, jauh-dekatnya lokasi peristiwa dari pemirsa

T = timeliness, baru-tidaknya atau penting-tidaknya peristiwa itu bagi pemirsa


Nah, secara umum langkah-langkah yang dilakukan reporter hingga sebuah peristiwa menjadi berita adalah:

1. Temukan peristiwa atau jalannya cerita

2. Konfirmasi, cek dan ricek peristiwa

3. Tentukan sudut pandang (angle)

4. Ciptakan lead (bagian awal berita)

5. Tulis berita yang berunsur berita: 5W + 1H, what, when, where, why, who, how.

6. Perdalam/perkaya laporan (indepth), misal dengan investigasi, wawancara tambahan, riset dokumentasi, dsb (jika diperlukan atau ada waktu)

7. Edit berita (atau umumnya menjadi tugas editor media)


Dalam Understanding Media: The Extensive of Man, Mc Luhan menulis bahwa, semua hal yang disajikan media massa adalah perpanjangan alat indra kita untuk peroleh sesuatu informasi yang tidak kita alami secara langsung. Sedang tugas “seorang wartawan dalam menghadapi sumber berita dan menyusun uraian fakta,” menurut Romo Mangunwijaya, “harus berdiri pada titik netral, sehingga bersifat adil, jujur, obyektif dan tidak memihak.”